Konsep utama dalam teori identitas sosial ada dua, yaitu teori identitas sosial dan teori kategorisasi diri. Teori identitas sosial pertama kali dikembangkan oleh Tajfel dan Turner[1] pada tahun 1979, dengan fokus utamanya pada motivasi dan asal-usul identitas sosial. Ini adalah sebuah kerangka kerja dalam psikologi sosial yang berfokus pada bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka dalam hubungannya dengan kelompok sosial tertentu, seperti kelompok berdasarkan agama, etnisitas, nasionalitas, atau kelompok sosial lainnya. Teori Identitas Sosial memberikan pemahaman tentang bagaimana individu mengonstruksi dan memelihara identitas sosial mereka melalui perbandingan dengan kelompok lain, dengan tujuan menciptakan identitas sosial yang positif bagi diri mereka sendiri.
Â
Teori kategorisasi diri yang dikembangkan oleh Turner[2] dan rekan-rekannya pada tahun 1987 menekankan aspek kognitif dalam pembentukan identitas sosial. Teori ini lebih berfokus pada bagaimana individu memproses informasi dan konsep-konsep kognitif yang terkait dengan identitas sosial mereka. Hal seperti pemrosesan informasi dan pemahaman konsep memainkan peran penting dalam pembentukan dan pengalaman identitas sosial. Oleh karena itu, teori ini membantu kita memahami bahwa identitas sosial bukan hanya tentang perasaan dan pengalaman emosional, tetapi juga tentang bagaimana individu memproses dan mengorganisir informasi mengenai diri mereka sebagai anggota kelompok tertentu.
Â
Akar politik identitas berasal dari pemikiran Foucault tentang politik tubuh atau biopolitik, sejarah seksualitas, dan relasi kekuasaan yang mengelilinginya. Diaspora politik identitas merupakan konsekuensi dari keruntuhan masyarakat ilmiah, yang merupakan upaya untuk mengendalikan demografi dengan tujuan mencerahkan individu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa politik identitas adalah sebuah perbincangan mengenai kehidupan sehari-hari yang berpusat pada perbedaan, di mana terjadi dinamika dan pertarungan berbagai identitas yang berbeda. Demikian pula, Agnes Heller dan Sonja Punsher[3] mengambil politik identitas yang fokus perhatiannya pada perbedaan. Gagasan utama dari politik identitas adalah hubungan antara identitas dan partisipasi dalam aksi politik[4].
Â
Pada tahun 1970-an, ilmuwan sosial mulai memberikan perhatian pada politik identitas, terutama di Amerika Serikat. Ini terjadi karena masyarakat menghadapi tantangan dari berbagai kelompok minoritas yang merasa terpinggirkan dan terdiskriminasi, termasuk isu-isu seperti gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok sosial lainnya. Seiring berjalannya waktu, politik identitas ini semakin meluas, termasuk dalam pembahasan tentang agama, kepercayaan, dan aspek-aspek budaya yang memiliki dimensi keagamaan[5].
Â
Mengamati sejarah, seperti yang terlihat dalam kasus Kurdi, Kosovo, dan kelompok pejuang Bosnia sebelum Perang Dunia I, di Skotlandia, terdapat konflik antara kelompok Katolik dan Protestan yang telah menjadi bagian dari pertikaian di wilayah Britania Raya. Di Amerika Serikat, perang saudara terjadi. Di Semenanjung Malaya, terdapat konflik antara komunitas pribumi dan non-pribumi. Yugoslavia mengalami pecah belah, sementara Suriah dan Afghanistan mengalami konflik. Selain itu, politik anti-Semitisme dan radikalisme menyebar di berbagai negara[6]. Baru-baru ini, penindasan terhadap komunitas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, dan penindasan terhadap kaum Rohingya di Myanmar juga terkait erat dengan isu identitas politik. Semua contoh ini memiliki hubungan yang kuat dengan identitas dan berdampak besar pada politik negara-negara yang terkait.
Â
Pasca jatuhnya pemerintahan Suharto dan dimulainya era reformasi di Indonesia, muncul agenda pemekaran wilayah yang bertumpu pada asumsi-asumsi etnis yang lebih spesifik, seperti Banten, Papua, dan Riau. Dampak dari pemekaran ini juga menciptakan ketegangan etnis, yang dipicu oleh ketidaksetaraan ekonomi di beberapa daerah, termasuk Sambas, Aceh, Atambua (pengungsi eks Timor Timur), hingga Papua. Selain itu, fenomena politik identitas juga pernah menimbulkan ketegangan, terutama akibat pernyataan kontroversial Ahok tentang surat Al-Maidah ayat 51 yang dianggap penistaan agama oleh sebagian orang. Reaksi keras dari berbagai kelompok yang merasa identitas keagamaan mereka terancam terwujud dalam aksi demonstrasi 212 pada tanggal 2 Desember 2016, yang dipimpin oleh Gerakan 212 dan mengadvokasi tuntutan agar pemerintah menindak Ahok sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku[7].
Â
Ketika kita memeriksa pemilihan umum tahun 2019, kita dapat dengan jelas mengamati intensitas yang signifikan dalam penekanan pada politik identitas, yang bahkan menghasilkan istilah "Kecebong versus Kampret." Hal ini mencuat sebagai penanda bagi masing-masing kubu pasangan calon. Berbagai isu kontroversial diperdebatkan secara terbuka, seperti tuduhan bahwa Jokowi adalah keturunan PKI, upaya pencitraan sebagai anti-Islam, kriminalisasi ulama, konspirasi larangan adzan, narasi Prabowo yang dikaitkan dengan perayaan Natal, serta imej Prabowo sebagai tokoh ultra nasionalis dan Islam Nusantara sebagai alternatif yang lebih moderat. Semua ini dirancang untuk memperkuat basis pemilih masing-masing calon dan untuk memenangkan perang di ranah digital, dengan tujuan mempengaruhi opini publik secara luas[8].
Â
Politik identitas membuat masyarakat sulit untuk berdamai, memecahbelah, dan memprioritaskan kelompoknya sendiri. Sehingga memungkinkan suatu kelompok untuk menguasai, karena adanya keunggulan suatu kelompok dalam suatu bidang tertentu atau sumber daya yang ada. Identitas, sebagai komponen yang melekat pada individu, memberikan peluang bagi aktor politik untuk memanfaatkan sentimen emosional individu atau kelompok tersebut. Tujuannya adalah memicu kemarahan di antara pendukung pasangan calon yang bersangkutan. Konsep ini sejalan dengan pandangan Antoine Banks[9] yang menyatakan bahwa kemarahan juga memiliki potensi untuk memicu prasangka dan memengaruhi sikap politik individu. Dengan kata lain, sentimen ini bisa dikelola dengan cermat untuk mengidentifikasi orientasi politik individu atau kelompok, karena dianggap sebagai alat yang paling efektif dalam memengaruhi pandangan politik.
Â
Kendati demikian, perlu diingat bahwa dampak penggunaan isu identitas untuk kepentingan politik seringkali tidak dipertimbangkan dengan cermat. Terkadang, pendekatan semacam ini mendekati strategi Machiavellian, di mana segala cara dianggap sah dalam perjuangan merebut kekuasaan. Bahkan lebih lanjut, politik identitas bisa berubah menjadi elemen budaya populis, khususnya populisme kanan radikal, yang berkaitan erat dengan konsep-konsep seperti nativisme dan politik identitas[10]. Kecenderungan menggunakan isu-isu identitas seperti agama, etnisitas, atau gender untuk memisahkan masyarakat menjadi kelompok yang bersaing satu sama lain. Dalam upaya ini, prinsip-prinsip moral atau integritas sering kali diabaikan demi mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Francis Fukuyama[11] menegaskan bahwa bentuk baru politik identitas ini berada di balik fenomena populisme sayap kanan.
[1] Henri Tajfel and John C. Turner, "Teori Identitas Sosial tentang Perilaku Kelompok," dalam Psikologi Sosial Hubungan Antar Kelompok (Hal. 33-47). Tahun publikasi tidak dicantumkan dalam referensi ini.
[2] ohn C. Turner, "A Self-Categorization Theory," dalam Rediscovering the Social Group: A Self-Categorization Theory, diedit oleh John C. Turner, Michael A. Hogg, Peter J. Oakes, Stephen D. Reicher, dan Margaret S. Wetherell (Oxford, UK: Basil Blackwell, 1987), halaman 42-67.
[3] Agnes Heller and Sonja Punsher, "Biopolitical Ideologies and Their Impact on the New Social Movements," dalam A New Handbook of Political Societies (Oxford: Blackwell, 1995).
[4] Supriatna, Encup, and Rizki Hegia Sampurna, "POLITICS OF IDENTITY IN INDONESIA: EVIDENCES AND FUTURE DIRECTIONS," Proceeding of International Conference on Social Sciences, 2020.
[5] Ahmad Syafii Maarif, dkk., Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina, 2010).
[6] Leli Salman Al-Farisi, "Politik Identitas: Ancaman Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Negara Pancasila," Aspirasi 10, no. 2 (2020): 77-90.
[7] Gili Argenti, "Islam Politik di Indonesia: Transformasi Gerakan Sosial Aksi Bela Islam 212 dari Gerakan Demonstrasi ke Gerakan Kelembagaan Sosial, Politik, dan Ekonomi," Jurnal Unsika Vol. 1 (Januari 2019): 1–23.
[8] Puskapol UI, "Mengelola Politik Identitas Dalam Pemilu 2019" (Depok: Puskapol UI, 2019).
[9] Antoine J. Banks, Kemarahan dan Politik Rasial: Landasan Emosional Sikap Rasial di Amerika (New York: Cambridge University Press, 2014), 214 hlm.
[10] Casper Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populisme: Pengantar yang Sangat Singkat (Oxford, Inggris: Universitas Oxford, 2017).
[11] Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2018).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI