Syarat minimal kerja yang tidak masuk akal sudah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat. Seperti misalnya, syarat minimal usia, syarat minimal tinggi badan, dll. Hal ini dinilai oleh masyarakat sebagai salah bentuk diskriminasi, sehingga setiap masyarakat tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan adil. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) telah menjamin akan setiap warga negara dan setiap orang untuk berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan adil.
Berangkat dari persoalan di atas, terdapat permohonan pengujian Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) terhadap Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan pasal tersebut berbunyi, "Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja".Â
Oleh Pemohon, ketentuan ini dinilai telah secara jelas menimbulkan diskriminasi dan menimbulkan interpretasi yang beragam dalam praktiknya. Permohonan atas ketentuan di atas telah menarik sejumlah media massa untuk meliput perkembangannya. Tidak bisa dipungkiri, karena ini merupakan persoalan yang sangat dijumpai oleh masyarakat sehingga mendapatkan perhatian yang lebih.
Ketika awal mendengar adanya permohonan ini, dibenak saya langsung mengatakan, "permohonan ini pasti tidak akan dikabulkan". Tidak bermaksud menormalisasikan adanya syarat minimal kerja yang tidak masuk akal sebagaimana di atas, melainkan melihat norma yang diuji dengan perkembangan dunia kerja yang saat ini berjalan menjadi respon cepat saya sebagaimana di atas.Â
Bagi saya, ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan di atas secara jelas memberikan kekuasaan penuh bagi pemberi kerja untuk dapat mencari calon pekerja sesuai yang dibutuhkan. Diskriminasi sebagaimana digaungkan oleh sebagian masyarakat, secara normatif itu semua tidak memenuhi unsur diskriminatif.
Dapat dikatakan sebagai bentuk diskriminasi apabila terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya". Definisi diksriminasi sebagaimana di atas merupakan definisi yang dipahami oleh Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan yang dikeluarkan jo dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bagi saya, persoalannya adalah bukan pada ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan di atas, melainkan persoalannya terletak pada pemberi kerja. Sejauh mana pemberi kerja memahami fakta empiris pencari kerja di lapangan. Apabila pemberi kerja memahami fakta empiris di lapangan seperti ini halnya, maka besar kemungkinan dirinya akan tidak memberikan syarat minimal kerja yang tidak masuk akal.Â
Oleh karenanya, langkah yang bisa diambil adalah memberikan kesadaran kepada pemberi kerja agar tidak memberikan syarat-syarat yang tidak masuk akal. Sebaliknya, jika syarat-syarat itu dinilai oleh pemberi kerja sebagai satu hal yang masuk akal maka tidak menjadi persoalan.
Di berbagai negara memang betul tidak ada syarat minimal kerja yang tidak masuk akal, itu semua bukan karena penegasan dalam sebuah peraturan perundang-undangan (*correct me if I'm wrong) melainkan akan kesadaran dan kebutuhan yang dicari oleh pemberi kerja seperti itu adanya.
Persoalan tentang pandangan diskriminasi yang tidak terukur akan terus menjadi persoalan. Seperti halnya, mengatakan syarat minimal usia dan syarat tinggi badan sebagai salah satu bentuk diskriminasi. Lantas bagaimana dengan syarat kerja yang mengharuskan minimal S1?, bagaimana nasib masyarakat yang memiliki ijazah hanya sampai SMA/SMK/MA?