Tubuhnya tertelan dalam kusut. Di atas tempat tidur yang berserak. Tangannya selalu cekatan, memeluk sepotong kain yang telah lusuh di sana. Hanya itu yang mungkin bisa dilkukan saat itu. Karena setidaknya, dia merasa masih bersama separuh hatinya.
Sejak empat tahun lalu, dia tak pernah bisa pernah pisah dengan scraf itu. Wol hitam dengan berhias warna abu, dirajut dengan halus dan hati-hati, adalah hadiah dari separuh jiwanya. Dia tak pernah lupa, 'jaga dirimu baik-baik', dengan bisikan lembutnya. Dan sejak itu, syal tersebut adalah kulit yang melekat di lehernya, setiap waktu, saat dingin menghampirinya.
Detik-demi-detik terasa sangat panjang. Setiap detaknya adalah sayatan runcing dalam hati lelaki itu. Pedih. Tragedi ini tak mungkin tergambarkan. Bahkan oleh Hamlet-nya Shakespeare.
Nama perempuan itu tak bisa dicari lagi. Bahkan dalam aliran darahnya, yang dulu selalu mengalir dalam dirinya. Menuju telaga kebahagaiaan. Di hatinya.
Tawanya tak lagi menemani secangkir kopi. Di pagi hari, ketika mereka menghabiskan cerita-cerita tentang bunga tidurnya setiap malam.
Begitulah. Mereka telah merangkai istana mimpinya. Dengan potongan-potongan waktu, yang dihiasnya dalam kenangan suka cita. Setiap saat.
Namun semuanya sudah tak bisa ditemukan lagi.
Lelaki di atas ranjang.
Kedua matanya kecil. Lurus tanpa lengkung. Terkunci rapat. Dan dia telah meninggalkan sore hari yang hangat itu. Â Â Â
Sumba, 080418
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H