Mohon tunggu...
Bagus Suminar
Bagus Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Pemerhati Ilmu Manajemen

Ayah dgn 2 anak dan 1 cucu, memiliki hobi menciptakan lagu anak dan pemerhati manajemen mutu pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

SPMI dan Pergulatan Implementasi: Tinjauan Kebijakan Publik

21 Oktober 2024   05:37 Diperbarui: 21 Oktober 2024   07:06 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan inisiatif penting yang dilakukan pemerintah untuk memastikan mutu pendidikan dapat berkelanjutan di Indonesia. Kebijakan ini mengadopsi siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), yang memberikan kerangka operasional (framework) bagi perguruan tinggi untuk mencapai standar nasional pendidikan dan melakukan perbaikan secara terus-menerus.

Namun demikian, meski visi kebijakan SPMI ini cukup jelas, implementasi di lapangan sering kali menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Kebijakan SPMI kerap terjebak dalam pergulatan antara harapan dan kenyataan, mimpi dan keterbatasan. Fenomena di lapangan berbagai faktor administratif, politik, dan sumber daya memengaruhi keberhasilan penerapannya.

Rancangan Ideal, Implementasi Berliku

Dalam teori kebijakan oleh Merilee S. Grindle, keberhasilan kebijakan publik bergantung pada keselarasan antara isi kebijakan dan kondisi operasional di lapangan. Kebijakan SPMI, dengan siklus PPEPP-nya, telah didesain untuk mendukung perbaikan mutu secara berkelanjutan. Namun, di perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources), seperti di daerah terpencil, sulit bagi setiap tahap PPEPP dijalankan dengan optimal.

Perguruan tinggi di daerah terpencil dengan budget minim sering kali kesulitan menjalankan evaluasi (audit mutu internal dan monev) berkala dan pelatihan dosen. Akibatnya, siklus PPEPP hanya diterapkan secara formalitas untuk memenuhi kewajiban laporan, tanpa ada peningkatan mutu yang subtansial karena keterbatasan resources dan tenaga ahli.

Konteks Politik dan Administratif

Grindle juga menekankan bahwa konteks politik dan administratif sangat berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Dalam kasus SPMI, perubahan undang-undang dan regulasi pendidikan di Indonesia kerap menyulitkan perguruan tinggi dalam menyesuaikan kebijakan internal, memaksa institusi melakukan revisi berkala yang menguras waktu, tenaga dan sumber daya.

Diduga minimnya koordinasi antara pemerintah dan perguruan tinggi juga menghambat sosialisasi kebijakan secara efektif. Akibatnya, penerapan SPMI sering kali tidak konsisten di seluruh level unit kerja, membuat tujuan peningkatan mutu sulit tercapai secara merata.

Contoh lain, pergantian pimpinan di perguruan tinggi sering menjadi tantangan dalam keberlanjutan kebijakan SPMI. Setiap pergantian pimpinan (rotasi) dapat memunculkan perubahan prioritas dan arah kebijakan, sehingga siklus PPEPP kurang berjalan konsisten dan program peningkatan mutu menjadi tertunda atau bahkan berhenti sebelum mencapai target yang diharapkan.

Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki

Antara Formalitas dan Komitmen

Sikap dan persepsi para pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi. Lipsky (1980) menekankan bahwa para pelaksana di tingkat bawah memiliki kekuasaan besar dalam menentukan bagaimana kebijakan diterapkan di lapangan, karena merekalah yang berinteraksi langsung dengan kebijakan tersebut dalam praktik sehari-hari dan saat melayani stakeholder.

Dalam konteks SPMI, banyak kepala unit kerja, dosen maupun staf administrasi merasa kebijakan ini hanya menambah beban administrasi saja. Bahkan mereka sering berasumsi bahwa SPMI tidak memberi manfaat langsung bagi pengajaran dan penelitian. Akibatnya, implementasi SPMI sering dilakukan sebagai formalitas untuk memenuhi kewajiban administratif, tanpa komitmen penuh untuk meningkatkan mutu secara substansial dan berkelanjutan.

Kebijakan Bagus, Tapi Sulit Dijalankan

Grindle juga menekankan bahwa keterbatasan resources (sumber daya) merupakan hambatan signifikan dalam implementasi kebijakan publik. Perguruan tinggi dengan anggaran terbatas sering kali hanya menjalankan kebijakan SPMI sebatas memenuhi persyaratan minimum. Evaluasi mutu internal dilakukan sekadar untuk melengkapi laporan tanpa adanya tindak lanjut yang nyata untuk peningkatan mutu. Hal ini sejalan dengan teori dari Pressman dan Wildavsky (1973) bahwa kebijakan yang dirancang dengan baik tetap bisa gagal jika tidak didukung oleh sumber daya yang memadai untuk pelaksanaannya.

Sebagai contoh, perguruan tinggi dengan fasilitas teknologi terbatas (resources) akan kesulitan menerapkan sistem penjaminan mutu berbasis digital. Tanpa platform yang memadai untuk pemantauan dan evaluasi real-time, proses pengendalian mutu menjadi kurang efektif, menghambat peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan "Slow Respon"

Mampukah SPMI Bertahan?

Implementasi SPMI di perguruan tinggi mencerminkan bahwa kebijakan yang dirancang dengan baik tidak selalu mudah diterapkan. Perguruan tinggi menghadapi berbagai pergulatan antara tuntutan kebijakan dan keterbatasan operasional, mulai dari minimnya sumber daya hingga perubahan regulasi yang sering terjadi. Teori Grindle menguraikan bahwa kebijakan publik memerlukan lebih dari sekadar perencanaan yang baik; namun hal lain seperti konteks politik, administrasi, dan komitmen dari pelaksana juga sangat menentukan keberhasilan.

Agar SPMI dapat dilaksanakan secara efektif, diperlukan dukungan (support) yang lebih besar dari pemerintah dalam bentuk regulasi yang stabil dan bantuan sumber daya. Selain itu, perguruan tinggi perlu memperkuat koordinasi dan komunikasi internal. Perguruan Tinggi juga harus membangun komitmen di antara dosen serta staf agar kebijakan ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Dengan langkah-langkah kongkret tersebut, pergulatan implementasi SPMI dapat diatasi, dan kebijakan ini dapat berfungsi sebagai alat strategis untuk memajukan pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!

Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital

Referensi

  • Edward III, G.C. (1980). Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press.
  • Grindle, M.S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton University Press.
  • Lipsky, M. (1980). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. Russell Sage Foundation.
  • Mazmanian, D.A., & Sabatier, P. (1981). Effective Policy Implementation. Lexington Books.
  • Pressman, J.L., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland. University of California Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun