Pendahuluan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan inisiatif penting yang dilakukan pemerintah untuk memastikan mutu pendidikan dapat berkelanjutan di Indonesia. Kebijakan ini mengadopsi siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), yang memberikan kerangka operasional (framework) bagi perguruan tinggi untuk mencapai standar nasional pendidikan dan melakukan perbaikan secara terus-menerus.
Namun demikian, meski visi kebijakan SPMI ini cukup jelas, implementasi di lapangan sering kali menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Kebijakan SPMI kerap terjebak dalam pergulatan antara harapan dan kenyataan, mimpi dan keterbatasan. Fenomena di lapangan berbagai faktor administratif, politik, dan sumber daya memengaruhi keberhasilan penerapannya.
Rancangan Ideal, Implementasi Berliku
Dalam teori kebijakan oleh Merilee S. Grindle, keberhasilan kebijakan publik bergantung pada keselarasan antara isi kebijakan dan kondisi operasional di lapangan. Kebijakan SPMI, dengan siklus PPEPP-nya, telah didesain untuk mendukung perbaikan mutu secara berkelanjutan. Namun, di perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources), seperti di daerah terpencil, sulit bagi setiap tahap PPEPP dijalankan dengan optimal.
Perguruan tinggi di daerah terpencil dengan budget minim sering kali kesulitan menjalankan evaluasi (audit mutu internal dan monev) berkala dan pelatihan dosen. Akibatnya, siklus PPEPP hanya diterapkan secara formalitas untuk memenuhi kewajiban laporan, tanpa ada peningkatan mutu yang subtansial karena keterbatasan resources dan tenaga ahli.
Konteks Politik dan Administratif
Grindle juga menekankan bahwa konteks politik dan administratif sangat berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Dalam kasus SPMI, perubahan undang-undang dan regulasi pendidikan di Indonesia kerap menyulitkan perguruan tinggi dalam menyesuaikan kebijakan internal, memaksa institusi melakukan revisi berkala yang menguras waktu, tenaga dan sumber daya.
Diduga minimnya koordinasi antara pemerintah dan perguruan tinggi juga menghambat sosialisasi kebijakan secara efektif. Akibatnya, penerapan SPMI sering kali tidak konsisten di seluruh level unit kerja, membuat tujuan peningkatan mutu sulit tercapai secara merata.
Contoh lain, pergantian pimpinan di perguruan tinggi sering menjadi tantangan dalam keberlanjutan kebijakan SPMI. Setiap pergantian pimpinan (rotasi) dapat memunculkan perubahan prioritas dan arah kebijakan, sehingga siklus PPEPP kurang berjalan konsisten dan program peningkatan mutu menjadi tertunda atau bahkan berhenti sebelum mencapai target yang diharapkan.
Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki
Antara Formalitas dan Komitmen
Sikap dan persepsi para pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi. Lipsky (1980) menekankan bahwa para pelaksana di tingkat bawah memiliki kekuasaan besar dalam menentukan bagaimana kebijakan diterapkan di lapangan, karena merekalah yang berinteraksi langsung dengan kebijakan tersebut dalam praktik sehari-hari dan saat melayani stakeholder.
Dalam konteks SPMI, banyak kepala unit kerja, dosen maupun staf administrasi merasa kebijakan ini hanya menambah beban administrasi saja. Bahkan mereka sering berasumsi bahwa SPMI tidak memberi manfaat langsung bagi pengajaran dan penelitian. Akibatnya, implementasi SPMI sering dilakukan sebagai formalitas untuk memenuhi kewajiban administratif, tanpa komitmen penuh untuk meningkatkan mutu secara substansial dan berkelanjutan.