Pendahuluan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan inisiatif penting yang digagas pemerintah untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan mengacu pada siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI bertujuan mendorong penerapan standar pendidikan yang relevan dan berkelanjutan.
Namun, meskipun kebijakan ini memiliki visi yang menarik, muncul pertanyaan: dapatkah kebijakan ini benar-benar bertahan dalam praktik? Kompleksitas implementasi SPMI di lapangan sering kali menghadirkan tantangan tersembunyi yang tidak tercatat di atas kertas, tetapi sangat memengaruhi efektivitas pelaksanaannya.
Dalam studi implementasi kebijakan publik, model George C. Edward III memberikan kerangka untuk mengenal hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan seperti SPMI. Edward III mengidentifikasi ada empat faktor penting yang memengaruhi keberhasilan implementasi: komunikasi, sumber daya, disposisi pelaksana, dan struktur birokrasi.
Keempat faktor-faktor diatas menjadi instrumen penting untuk mendalami dan mengkaji tantangan yang dihadapi perguruan tinggi dalam menjalankan SPMI. Problem komunikasi, keterbatasan sumber daya (resources), sikap pelaksana yang apatis, serta birokrasi yang kaku dapat menghambat keberhasilan kebijakan SPMI.
Apakah Kebijakan Sampai ke Tingkat Pelaksana?
Komunikasi yang efektif merupakan elemen krusial dalam implementasi kebijakan. Dalam konteks SPMI, perguruan tinggi perlu memahami dengan jelas proses dan siklus PPEPP serta bagaimana setiap tahap harus diterapkan. Pemahaman ini hanya bisa dicapai melalui pelatihan, sosialisasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, dalam hal ini Kemdikbudristek, dengan seluruh unit di perguruan tinggi.
Namun, sosialisasi dan komunikasi sering kali berlangsung lama, mungkin karena anggaran yang terbatas. Sosialisasi kebijakan yang belum merata menyebabkan beberapa fakultas atau program studi tidak sepenuhnya memahami peran mereka dalam siklus PPEPP. Ketidakseimbangan pemahaman ini mengakibatkan implementasi yang tidak konsisten antar unit kerja di dalam institusi.
Seperti yang diungkapkan oleh Goggin (1990), kegagalan komunikasi dapat memicu fragmentasi kebijakan di lapangan. Hal ini membuat kebijakan SPMI hanya diterapkan secara parsial dan tidak seragam, sehingga tujuan peningkatan mutu pendidikan melalui SPMI sulit tercapai.
Akibat dari fragmentasi ini, perguruan tinggi gagal mencapai standar SPMI yang diharapkan. Siklus PPEPP yang seharusnya berjalan berkelanjutan terhambat di beberapa titik karena lemahnya komunikasi dan koordinasi. Tanpa penerapan kebijakan yang konsisten, tujuan utama peningkatan mutu pendidikan melalui SPMI menjadi sulit tercapai, dan kebijakan hanya berfungsi sebagai formalitas semata tanpa impact yang nyata bagi mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi LinierÂ
Tanpa Dukungan Resources, bisakah?
Edward III menekankan bahwa kesuksesan implementasi kebijakan sangat bergantung pada ketersediaan resources (sumber daya). Dalam kasus SPMI, keterbatasan anggaran, tenaga kerja yang terampil, dan waktu sering kali menjadi penghambat utama.
Perguruan tinggi, terutama yang berada di pelosok atau memiliki anggaran terbatas, mengalami kesulitan dalam menyediakan dana untuk pelatihan dosen atau membangun sistem evaluasi mutu yang memadai. Padahal, setiap tahap dalam siklus PPEPP memerlukan dukungan sumber daya yang cukup.
Apabila sumber daya kurang memadai, kebijakan sering kali dilakukan secara formalitas saja. Hal ini sejalan dengan pandangan Pressman dan Wildavsky (1973), yang menyebutkan bahwa kebijakan sering kali gagal bukan karena perumusan yang buruk, tetapi karena keterbatasan dalam eksekusinya.
Sebagai contoh, perguruan tinggi dengan bujet terbatas mungkin hanya mampu mengadakan evaluasi mutu sebagai formalitas untuk memenuhi laporan wajib SPMI. Tanpa pelatihan berkala bagi dosen dan staf, hasil evaluasi kurang dianalisis dengan baik, sehingga tidak terjadi perbaikan subtansial dalam mutu pendidikan.
Pelaksana SPMI: Apatisme atau Komitmen?
Faktor lain yang memengaruhi keberhasilan SPMI adalah "disposisi" atau sikap para pelaksana kebijakan.
Kebijakan (policy) hanya akan efektif jika para pelaksananya---pimpinan, unit kerja, dosen dan staf administrasi---berkomitmen penuh dalam menjalankannya. Namun, fakta di lapangan, diduga banyak pelaksana yang merasa bahwa SPMI hanya menambah beban kerja. SPMI tidak memberikan memberikan manfaat secara langsung.
Lipsky (1980) dalam teorinya tentang street-level bureaucracy, menyebutkan bahwa sikap dan persepsi pelaksana sangat menentukan apakah kebijakan akan efektif atau tidak. BIla pelaksana tidak melihat relevansi kebijakan dengan tugas mereka sehari-hari, besar kemungkinan kebijakan hanya dijalankan secara simbolis saja.
Sebagai contoh, dosen atau kepala unit kerja di perguruan tinggi mungkin mengisi laporan SPMI hanya untuk memenuhi kewajiban administrasi tanpa melihat manfaat langsung bagi pengajaran. Akibatnya, kebijakan SPMI hanya berjalan simbolis saja tanpa upaya nyata untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan.
Birokrasi: Terlalu Rumit?
Selain hal-hal diatas, struktur birokrasi di perguruan tinggi juga memainkan peran penting. Perguruan tinggi yang memiliki struktur organisasi yang kaku sering kali menghadapi kesulitan dalam implementasi SPMI.
Pengambilan keputusan (Decision Making Process) yang berbelit-belit dan minimnya koordinasi antar unit membuat setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan lambat dan tidak efisien. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan yang baik saja tidak cukup; struktur organisasi harus mendukung agar implementasi berjalan efektif. Dalam konteks ini, Edward III menekankan pentingnya fleksibilitas dan koordinasi lintas organisasi untuk memastikan keberhasilan kebijakan publik.
Sebagai contoh, pengajuan program peningkatan mutu di program studi (prodi) sering terhambat birokrasi berlapis, dengan persetujuan dari banyak pihak. Ada beberpa lapis hirarki yang harus dilewati, misalnya dari prodi ke fakultas,lalu ke Universitas. Minimnya koordinasi antar unit kerja membuat pelaksanaan siklus PPEPP menjadi lambat, sehingga upaya peningkatan mutu tidak dapat berjalan tepat waktu dan efektif.
Baca juga:Â SPMI Dinamis: Peningkatkan Daya Saing Perguruan Tinggi
Kebijakan SPMI: Bisa Bertahan?
Faktor eksternal seperti kondisi sosial, ekonomi, dan politik juga memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kondisi lingkungan yang cenderung makin VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) membuat pengelolaan organisasi menjadi semakin sulit.
Mazmanian dan Sabatier (1981)Â menekankan bahwa perubahan regulasi atau ketidakstabilan politik dapat menghambat konsistensi kebijakan. Dalam kasus SPMI, perubahan regulasi pendidikan yang sering terjadi di Indonesia membuat perguruan tinggi kesulitan untuk menyesuaikan kebijakan internal mereka. Selain itu, perguruan tinggi di daerah terpencil yang memiliki keterbatasan akses terhadap teknologi dan sumber daya cenderung tertinggal dalam menerapkan kebijakan SPMI secara optimal.
Sebagai contoh, munculnya Permendikbudristek no 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi membuat perguruan tinggi harus merevisi kebijakan internal. Bagi perguruan tinggi di daerah terpencil, keterbatasan akses teknologi dan dana membuat penyesuaian kebijakan ini menjadi lambat dan menghambat implementasi SPMI secara optimal.
Bertahan dalam Kompleksitas?
Kompleksitas (kerumitan) implementasi kebijakan SPMI di perguruan tinggi mencerminkan bahwa keberhasilan kebijakan ini tidak hanya ditentukan oleh bentuk desainnya, namun juga oleh proses implementasi di lapangan.
Komunikasi/ koordinasi yang buruk, keterbatasan sumber daya, sikap apatis, dan birokrasi yang rumit menjadi tantangan utama yang harus dihadapi. Selain itu, kondisi eksternal seperti perubahan regulasi dan dinamika politik menambah jumlah kompleksitas yang harus dihadapi perguruan tinggi.
Agar kebijakan SPMI dapat bertahan dan berjalan efektif, diperlukan pendekatan implementasi yang fleksibel dan adaptif. Perguruan tinggi wajib memperkuat pola komunikasi internal, meningkatkan kapasitas sumber daya, membangun komitmen, dan menyederhanakan struktur birokrasi mereka. Dengan demikian, SPMI tidak hanya menjadi kebijakan yang bagus di atas kertas, namun juga juga dapat diterapkan dengan efektif di berbagai konteks institusi pendidikan di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi:
- Edward III, G.C. (1980). Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press.
- Lipsky, M. (1980). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. Russell Sage Foundation.
- Mazmanian, D.A., & Sabatier, P. (1981). Effective Policy Implementation. Lexington Books.
- Goggin, M.L., et al. (1990). Implementation Theory and Practice: Toward a Third Generation. Scott, Foresman and Company.
- Pressman, J.L., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland; Or, Why It's Amazing that Federal Programs Work at All. University of California Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H