Perguruan tinggi, terutama yang berada di pelosok atau memiliki anggaran terbatas, mengalami kesulitan dalam menyediakan dana untuk pelatihan dosen atau membangun sistem evaluasi mutu yang memadai. Padahal, setiap tahap dalam siklus PPEPP memerlukan dukungan sumber daya yang cukup.
Apabila sumber daya kurang memadai, kebijakan sering kali dilakukan secara formalitas saja. Hal ini sejalan dengan pandangan Pressman dan Wildavsky (1973), yang menyebutkan bahwa kebijakan sering kali gagal bukan karena perumusan yang buruk, tetapi karena keterbatasan dalam eksekusinya.
Sebagai contoh, perguruan tinggi dengan bujet terbatas mungkin hanya mampu mengadakan evaluasi mutu sebagai formalitas untuk memenuhi laporan wajib SPMI. Tanpa pelatihan berkala bagi dosen dan staf, hasil evaluasi kurang dianalisis dengan baik, sehingga tidak terjadi perbaikan subtansial dalam mutu pendidikan.
Pelaksana SPMI: Apatisme atau Komitmen?
Faktor lain yang memengaruhi keberhasilan SPMI adalah "disposisi" atau sikap para pelaksana kebijakan.
Kebijakan (policy) hanya akan efektif jika para pelaksananya---pimpinan, unit kerja, dosen dan staf administrasi---berkomitmen penuh dalam menjalankannya. Namun, fakta di lapangan, diduga banyak pelaksana yang merasa bahwa SPMI hanya menambah beban kerja. SPMI tidak memberikan memberikan manfaat secara langsung.
Lipsky (1980) dalam teorinya tentang street-level bureaucracy, menyebutkan bahwa sikap dan persepsi pelaksana sangat menentukan apakah kebijakan akan efektif atau tidak. BIla pelaksana tidak melihat relevansi kebijakan dengan tugas mereka sehari-hari, besar kemungkinan kebijakan hanya dijalankan secara simbolis saja.
Sebagai contoh, dosen atau kepala unit kerja di perguruan tinggi mungkin mengisi laporan SPMI hanya untuk memenuhi kewajiban administrasi tanpa melihat manfaat langsung bagi pengajaran. Akibatnya, kebijakan SPMI hanya berjalan simbolis saja tanpa upaya nyata untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan.
Birokrasi: Terlalu Rumit?
Selain hal-hal diatas, struktur birokrasi di perguruan tinggi juga memainkan peran penting. Perguruan tinggi yang memiliki struktur organisasi yang kaku sering kali menghadapi kesulitan dalam implementasi SPMI.
Pengambilan keputusan (Decision Making Process) yang berbelit-belit dan minimnya koordinasi antar unit membuat setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan lambat dan tidak efisien. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan yang baik saja tidak cukup; struktur organisasi harus mendukung agar implementasi berjalan efektif. Dalam konteks ini, Edward III menekankan pentingnya fleksibilitas dan koordinasi lintas organisasi untuk memastikan keberhasilan kebijakan publik.
Sebagai contoh, pengajuan program peningkatan mutu di program studi (prodi) sering terhambat birokrasi berlapis, dengan persetujuan dari banyak pihak. Ada beberpa lapis hirarki yang harus dilewati, misalnya dari prodi ke fakultas,lalu ke Universitas. Minimnya koordinasi antar unit kerja membuat pelaksanaan siklus PPEPP menjadi lambat, sehingga upaya peningkatan mutu tidak dapat berjalan tepat waktu dan efektif.
Baca juga:Â SPMI Dinamis: Peningkatkan Daya Saing Perguruan Tinggi