Pada era society 5.0 sangat di perlukan kepemimpinan yang ideal dan efektif. Perubahan era tentunya akan mengubah dan berdampak pada perubahan gaya kepemimpinan. Dengan perubahan zaman yang semakin pesat maka persaingan akan semakin terikat disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Siap tidak siap menuntut pemimpin untuk selalu adaptif dan inovatif dengan menyesuaikan tuntutan zaman.
Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan yang ideal untuk memasuki era society 5.0. kepemimpian ideal yang dimaksud adalah kepemimpinan yang mencerminkan adanya humanisme universal yang memperjuangkan dan mencapai tujuan segala hak dan kewajiban organisasi.
Pemimpin yang efektif dan ideal organisasi terintegrasi dalam pembangunan dan adaptif menganalisa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus kuat dan stabil dalam menjalankannya, tanpa adanya pemimpin yang konsisten akan hal tersebut maka membuat pembangunan dan adaptif menganalisa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pun tak akan berjalan.
Mengingat bahwa setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinannya masing-masing, maka berbeda pula cara pemimpin di organisasi dalam menghadapi era society 5.0. Contohnya seperti organisasi modern yang dominan menganut gaya kepemimpinan partisipatif. Gaya kepemimpinan ini sangat terkenal di banyak negara berteknologi maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Anglo lainnya.
Berdasarkan prespektif Al-Qur'an istilah kepemimpinan telah merujuk secara langsung pada term khalifah. Term khalifah telah di ungkapkan sesuai dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30 sebagai penegasan Allah tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin. khalifah adalah orang mampu mengadakan perubahan untuk lebih maju dan mensejahterahkan orang yang dipimpinnya.Â
Dengan demikian, penulis ingin mengangkat studi kasus penerapan nilai kepemimpinan dalam al-qur'an pada era society 5.0 sebagai wujud transformasional organisasi modern.
Kepemimpinan Dalam Al-Qur'an
Dalam prespektif Al-Qur'an, istilah pemimpin dalam pengertian sebagaimana yang telah diuraikan, dapat merujuk pada term khalifah. Khalifah menurut bahasa, kata khalifah merupakan subjek dari kata kerja lampau khalafa yang bermakna menggantikan atau menempati tempatnya.
Dalam pengertian yang lainnya, kata ini digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Muhammad (setelah beliau wafat) dalam kepemimpinan Islam. Khalifah juga sering disebut sebagai Amr al-Mu'minn atau "pemimpin orang yang beriman." Term khalifah juga diungkapkan antara lain dalam QS. al-Baqarah [2]: 30 sebagai penegasan Allah tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin.
Era Society 5.0
Era Society 5.0 dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang maya (virtual space) dan ruang fisik (nyata).
Tujuan Society 5.0 adalah untuk menciptakan masyarakat di mana tantangan sosial diselesaikan dengan memasukkan inovasi revolusi industri keempat (misalnya Internet of Things/IoT, Big Data, Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Artifisial, dan ekonomi berbagi) ke dalam industri dan kehidupan sosial.
Istilah Era Society 5.0 berasal dari Jepang dari Dewan Pemerintah untuk Sains, Teknologi, dan Inovasi dan menangani setiap aspek masyarakat seperti perawatan kesehatan, mobilitas, infrastruktur, politik, pemerintah, ekonomi, dan industri.
Organisasi Modern
Organisasi modern bukan lagi organisasi yang eksklusif atau organisasi yang tertutup, organisasi modern sudah menjadi organisasi yang terbuka dan bersifat fleksibel. Organisasi modern saling berkaitan dengan lingkungan, oleh sebab itu manusia yang ingin bertahan hidup harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Dapat kita lihat saat ini banyak organisasi-organisasi modern yang keberadaannya sukses mendapat penerimaan dari masyarakat dan memberi imbal positif terhadap lingkungan.
Persoalan kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik. Permasalahan ini selalu menyuguhkan daya tarik pada setiap orang yang begitu kuat. menurut salah satu ketua organisasi modern yakni Febriansyah T. menyatakan "ketika membicarakan sebuah kepemimpinan ada beberapa hal yang harus dijadikan sebagai acuan atau bahkan ideologi.Â
Kepemimpinan bukan suatu yang istimewa, tetapi tanggung jawab, ia bukan fasilitas tetapi pengorbanan, juga bukan untuk berleha-leha tetapi kerja keras. Ia juga bukan kesewenang-wenangan bertindak tetapi kewenangan melayani."
Kepemimpinan adalah perihal keyakinan (pelopor) dan usaha (bertindak). Pengertian kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai sisi kepemimpinan itu sendiri, kepemimpinan mengandung dua segi dan proyeksi, yaitu:
- Pemimpin formal, orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinannya, teratur dalam organisasi secara hirarki. Kepemimpinan formal ini disebut dengan istilah "kepala".
- Pemimpin informal, yaitu kepemimpinan ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak nyata terlihat dalam hirarki kepemimpinan organisasi (inilah pemimpin yang harus di waspadai sekaligus dihormati)
Bahkan menurut saya kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata krama birokasi. Kepemimpinan tidak harus diikat oleh suautu organisasi tertentu. Melainkan kepemimpinan bisa terjadi disiapa saja, asalkan seseorang menunjukan kemampuannya memengaruhi prilaku orang-orang lain kearah tercapainya tujuan tertentu.
Seorang ulama di beberapa kabupaten di Jawa Timur dapat diikuti orang lain dan memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang di daerahnya, tidak harus terlebih dahulu diikat oleh aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan organisasi yang sering kita sebut bersama dengan nama birokrasi.Â
Konkretnya, seorang kiai atau ulama, dengan pengaruhnya yang besar, mampu memengaruhi tingkah laku seorang Bupati Kepala Daerah didalam memimpin daerahnya, sehingga tidak harus terlebih dahulu kiai tersebut menjadi pegawai dikapubaten.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan mempunyai ciri tidak harus terjadi dalam suatu organisasi tertentu. Selain itu juga tidak dibatasi oleh jalur komunikasi struktural, melainkan bisa menjalin jalur network yang meresap secara luas melampaui jalur struktural dan apabila kepemimpinan dibatasi oleh tata krama birokrasi atau dikaitkan dalam suatu organisasi tertentu, penulis menyebutnya bukan seorang pemimpin yang paham akan kepemimipinan melainkan hanya menjalankan manajemen semata.
Berkaitan tentang konsep kepemimpinan dalam Islam, ada satu ungkapan yang selalu  saya pegang dari serat centhini R.A Ronggowarsito yang diambil dari dalam kamus Lisanul Arab disebutkan bahwa kata qaud adalah kebalikan dari kata sauq. Ungkapan yaqudu ad-daabbah berarti memimpin binatang dari arah depan, sedangkan ungkapan yasuqu as-saabbah berarti menggiring binatang dari belakang.
Pengertian secara etimologis ini memberikan isyarat lembut yang intinya bahwa posisi seorang pemimpin adalah didepan. Hal itu supaya ia menjadi penunjuk jalan kebaikan bagi jamaahnya dan membimbing mereka kepada sesuatu kemaslahatan.
Jadi setiap orang menjadi pemimpin wajib mengontrol dalam artian menjadi bumi yang mampu disinggahi dengan penuh kedamaian oleh bawahannya secara konsisten atau secara etimologi yang sering disebut memahayu hayuning bawana.Â
Pemimpin umat adalah para ulama. Pemimpin para raja adalah akal sehat. Pemimpin orang-orang shalih adalah ketaqwaan mereka. Pemimpin pelajar adalah pengajarnya dan pemimpin anak adalah orang tuanya. Sebagaimana penjaga wanita adalah suaminya dan penjaga budak adalah tuannya. Maka setiap manusia yang menjadi pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinanya.
Dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang berarti wakil. Namun kemudian mengalami pergeseran dengan masuknya kata amir atau penguasa. Oleh sebab itu kedua istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diasumsikan sebagai pemimpin formal.Â
Namun kalau kita berpacuan kepada Al-Qur'an selaku kitab suci agama islam sependek yang penulis tahu di surat albaqarah ayat 30 telah dijelaskan dan dapat diambil kesimpulan bahwa setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri Maka kedudukan nonformal dari seorang khalifah juga tidak bisa dipisahkan lagi.
Ada beberapa nilai-nilai kepemimpinan dalam Al-Qur'an yang sampai saat ini menurut saya masih relevan digunakan dalam society 5.0 sebagai wujud transformasional modern; yakni Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
Di era society 5.0 ini terdapat dua landasan yang harus di kuasai yakni kecerdasan buatan dan big data, dengan demikian menjadi pemimpin muslim yang intelgensia  harus mengadaptasi perubahan zaman secara efektif dan benar.Â
Dengan mengandalkan kecerdasan buatan dan menerapkan empat sifat khalifah sebagai seorang muslim, saya yakin pemimpin tersebut akan menjadi suri tauladan yang dapat dicontoh dan selalu menerapkan hukum-hukum islam yang ada dan menerapkannya pada era sekarang.
Dengan demikian, khalifah atau pemimpin di era society 5.0 harus menerapkan keempat sifat tersebut dan selalu terus mengevaluasi dan mengdaptasi ilmu, teknologi dan lain sebagainya yang mengikuti zaman. Sebagai kepribadian muslim intelegensi juga harus tetap terjaga keislamannya dan menerapkan sesuai dengan ajarannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H