Bab ini banyak memusatkan pada kisah hidup seorang Noto Notosusanto sampai era Demokrasi Terpimpin saat beliau ditunjuk Jenderal A.H Nasution untuk menangani proyek-proyek yang berkaitan dengan sejarah. Nugroho Notosusanto lahir pada 15 Juni 1931 di Rembang, Jawa Tengah. Nugroho dibesarkan di empat kota Rembang, Malang, Yogyakarta, dan Jakarta.Â
Sejak usia belia, Nugroho sudah menunjukkan sikap patriotisme yang kuat. Saat masih anak-anak, Nugroho sesekali memainkan wayang yang terbuat dari kertas. Dan ketika ada lagu nasional yang diputar diradio, Nugroho mengambil posisi sikap siap dan sikap hormat.Â
Setelah dewasa, Nugroho memutukan untuk berkuliah dan mengambil jurusan sejarah. Pada tahun 1960, Nugroho mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Amerika, namun hal tersebut dilarang oleh temannya yakni Priyono.Â
Akhirnya Nugroho memutuskan untuk berkuliah ke Inggris. Karena hidupnya tidak bahagia, beliau kemudian kembali ke Indonesia pada tahun 1962, ketika PKI sedang di masa jayanya. Hal ini secara tidak langsung berdampak juga pada kehidupan Nugroho.
Setelah peristiwa G30S/PKI yang mengenaskan, Nugroho segera ditunjuk oleh Jendral Besar A.H Nasution untuk membantu menyusun proyek penulisan sejarah komunis yang baru yang keberadaannya menghilangkan versi tulisan yang lama yakni tentang Peristiwa Madiun 1948.
Bab 3 yang berjudul Sejarah untuk Membela Rezim Orde Baru. Peristiwa berdarah Gerakan 3O September oleh PKI paling tidak turut berpengaruh terhadap penulisan sejarah. Nugroho dan Pusat Sejarah ABRI berhasil menerbitkan tulisan yang membahas kudeta yang dilakukan oleh komplotan komunis berlangsung dalam waktu 40 hari.Â
Maka dari itu, terbitlah sebuah buku dengan judul 40 Hari Kegagalan "G-30-S" 1 Oktober -- 10 November. Dalam penyusunannya, tampak Nugroho dan para staffnya berusaha sangat keras untuk menyelesaikannya dengan cepat dan berusaha agar buku ini dapat terbit pada Desember 1965.Â
Selain itu, Nugroho dan para staffnya diberikan tempat khusus di Kemang oleh Jendral A.H Nasution agar segera menyelesaikan proyek tulisan ini. Bisa dibilang, ketika suasana politik negara sedang genting, Nugroho tetap mendedikasikan dirinya untuk terus mengabdi kepada ABRI.
Bab 4 berjudul Mengkonsolidasi Kesatuan Militer. Sama hal nya dengan tulisan sejarah dalam merepresentasi tentang militer terhadap penumpasan komunis sebagai upaya untuk menegakkan Pancasila, tulisan-tulisan lain mengenai gambaran tentang masa lalu tampak abu-abu antara fakta dan legitimasi sejarah, pasalnya divisi-divisi sejarah dilebur dan pusat sejarah bentukan ABRI diutamakan.Â
Seminar 72 memberikan rangsangan terhadap proyek-proyek sejarah untuk membawa kembali dan mempromosikan nilai-nilai 1945. Dibuktikan dengan adanya kegiatan Napak Tilas Perjuangan Jendral Sudirman yang wajib dilakukan oleh setiap taruna baru di Akdemi Militer Magelang.Â
Kegiatan Napak Tilas ini merupakan alat utama yang digunakan sebagai pemecut semangat para taruna baru agar mereka lebih meresapi visi militer dan peran penting mereka untuk politik negara. Selain Napak Tilas, proyek-proyek sejarah lain yang terinspirasi dari Seminar 72 lebih masif disebar luaskan ke masyarakat sebagai bentuk promosi terhadap konsep dwi fungsi dan militerisme.