Mohon tunggu...
Bagus Setiawan
Bagus Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga

Suka bernyanyi dan overthingking (memikirkan apapun yang bisa dipikir termasuk konspirasi adanya kehidupan lain selain di bumi)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mitos Vs Logika: Membuka Tabir Misteri Cerita KKN di Desa Penari

20 Juni 2022   21:14 Diperbarui: 20 Juni 2022   21:33 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Mereka ikut perkataan jin, sing jenenge dhawuh"

 

Pasti sudah tak asing dengan kalimat yang satu ini. Kalimat ini merupakan salah satu penggalan dialog yang ada pada film KKN Di Desa Penari. Film yang baru saja dinyatakan sebagai film terlaris sepanjang masa ini, telah berhasil mencapai 8 juta penonton dalam 2 bulan penayangannya di bioskop. Alasan mengapa film ini viral dan disukai oleh banyak masyarakat Indonesia karena ceritanya yang dipercaya diambil dari kisah nyata.

 Selain itu, film besutan sutradara Awi Suryadi ini memang kental dengan adat serta budaya Jawa yang dapat dilihat dari settingnya seperti nuansa musik, bahasa, dan tarian tradisional. Seperti yang kita ketahui, bahwasanya cerita KKN Di Desa Penari ini pertama kali dipopulerkan oleh akun @SimpleM81378523 melalui thread Twitter sebelum akhirnya diangkat ke layar lebar.

Sinopsis

Diceritakan 5 orang mahasiswa yakni : Nur (Tissa Biani), Widya (Adinda Thomas), Ayu (Aghniny Haque), Bima (Achmad Megantara), Wahyu (Fajar Nugraha), dan Anton (Calvin Jeremy) yang hendak melaksanakan KKN ke sebuah desa terpencil yang terletak di kota dengan inisial B. 

Setelah sampai ke desa tersebut, mereka dijemput oleh beberapa pengendara motor untuk masuk ke dalam desa. Karena akses jalan yang cukup sulit untuk dilalui oleh kendaraan besar, maka terpaksa mereka harus menggunakan sepeda motor. 

Para pengendara motor terdiri dari beberapa warga yang memang ditugaskan oleh Pak Prabu (Kiki Narendra) untuk menjemput para mahasiswa. Pak Prabu adalah kepala desa dari desa yang hendak digunakan KKN.

Sebelum sampai di tempat tujuan, banyak hal-hal aneh yang dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa KKN, khususnya Nur dan Widya. Nur merasa bahwa dia melihat seorang perempuan yang berparas cantik bak penari sedang berdiri di atas sebuah batu, sedangkan Widya mendengarkan suara sayup-sayup musik gamelan selama perjalanan menuju ke desa. 

Tak hanya sampai disitu, kejadian-kejadian janggal pun mulai dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya di desa tersebut, mulai dari Bima yang bermimpi Widya sedang dililit ular, Wahyu yang membawa pulang bungkusan berisi kepala monyet, dan hal-hal tak terduga lainnya dialami oleh mereka ber-6. 

Kejadian ini sontak membuat keresahan Pak Prabu sebagai kepala desa yang pada akhirnya sampai mengundang sesepuh/tetua dari desa tetangga yakni Mbah Buyut (Diding Boneng)

Setelah diusut, penyebab dari semua peristiwa janggal yang dialami oleh ke-6 mahasiswa tersebut adalah berasal dari penunggu desa yang bernama Badarawuhi (Aulia Sarah). Badarawuhi dipercaya merupakan penguasa dari desa gaib yang letaknya tak jauh dari hutan, dan berbatasan langsung dengan Tapak Tilas.

Puncak dari semua kekacauan ini adalah ketika Bima dan Ayu ketahuan melakukan hubungan terlarang (bersenggama) di Sinden (semacam kolam untuk mandi para penari). Karena kelalaian mereka, akhirnya keduanya tidak dapat diselamatkan dan rohnya tertahan di Angkara Murka (dunia gaib milik Badarawuhi). 

Bima dipaksa untuk memuaskan hasrat nafsu sang penari yakni Badarawuhi, sedangkan Ayu diberikan mandat sebagai Dhawuh (gelar seorang penari) yang akan menggantikan Badarawuhi untuk menari sepanjang waktu dan sejengkal demi sejengkal tanah di desa gaib tersebut.

Antara Mitos dan Logika

Jika membahas soal film horror, pasti erat kaitannya dengan nuansa seram, mencekam, dan penuh mistis. Menurut Rismawati dan Nasution (2020), mistis adalah suatu pengetahuan yang diperoleh, bukan melalui indera melainkan diperoleh melalui rasa dan hati. Yang menjadi objek pengetahuan mistis adalah objek-objek yang abstrak, seperti alam gaib, Tuhan, malaikat, surga, neraka dan jin.

Sudah menjadi hal biasa jika masyarakat Indonesia dikaitkan dengan hal-hal mistis seperti sajen, tumbal, dan yang lainnya, khususnya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memang sudah mengenal hal ini sejak lama dan bahkan telah menjadi bagian dari budaya mereka. 

Namun yang perlu digaris bawahi, bahwa makna kata "mistis" dalam budaya Jawa tidak hanya berkaitan dengan hal yang berbau seram dan negatif saja, melainkan lebih kepada konotasi yang positif. Dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah Kejawen. 

Tak hanya itu, masyarakat Jawa pun lekat dengan namanya mitos. Makna mitos sendiri menurut Angeline (2015) adalah sebuah bentuk cerita rakyat yang didalamnya terdapat tokoh yang memiliki kekuatan magis tersendiri dan dipercaya telah ada sejak zaman dahulu. 

Katakanlah mitos yang populer, yakni tentang Kanjeng Ratu Kidul. Kanjeng Ratu Kidul adalah sosok yang dianggap sebagai penghuni dan penguasa Laut Selatan. Mitos tentang eksistensi Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan ini juga telah menjadi budaya tersendiri khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Masyarakat daerah Jogja percaya bahwa keberadaan Kanjeng Ratu Kidul erat kaitannya dengan Panembahan Senopati atau Raden Mas Danang Sutowijoyo pada masa Kesultanan Mataram Islam. 

Dikisahkan, Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul membuat perjanjian sehingga keduanya terlibat dalam ikatan yang disebut batiniyah (ikatan batin). Perjanjian ini berlangsung sampai ke raja-raja keturunan Mataram berikutnya. Pada perkembangan selanjutnya, muncul sebuah adat tradisi yang dinamakan Upacara Labuhan yang bertujuan untuk memperingati hari bertemunya Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul

Bukan hanya di Indonesia saja, beberapa tema universal dalam mitos hampir selalu terdapat di berbagai kebudayaan di dunia. Nilai-nilai yang dibawa dalam mitos berkembang menjadi aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang harus dilakukan oleh manusia untuk menghormati alam dan entitas di dalamnya. 

Pada akhirnya kebiasaan ini berujung pada budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun.

Jadi, sesuatu yang berkaitan dengan mistis dan mitos tidak selamanya berkonotasi negatif. Sudah menjadi fakta, bahwa daya tarik dunia gaib dan mitos sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Dua-duanya merupakan simbol legitimasi atas sebuah budaya serta adat setempat yang akhirnya hanya bisa dihormati keberadaannya.

Akan tetapi, dalam cerita KKN Di Desa Penari, dikisahkan bahwa Bima dan Ayu mengalami kematian yang tidak wajar setelah mengalami peristiwa mistis. Dikatakan dalam cerita, bahwa sebelum meninggal secara tak wajar, mereka melakukan perjanjian dengan jin yang bernama Badarawuhi, sehingga roh nya tidak bisa kembali ke jasad aslinya dan tertahan di dunia gaib. 

Secara logika, hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa sebuah entitas gaib yang tak kasat mata bisa menahan roh manusia sehingga manusia tersebut tidak dapat hidup secara normal dan bahkan sampai meninggal. 

Belum ada studi yang dapat membuktikan hal ini, yang jelas menurut pendapat Ango, Tomuka, dan Kristanto (2020), kematian tak wajar disebabkan oleh 3 hal, yakni: pembunuhan (homocide), bunuh diri (suicide), dan kecelakaan (accident). 

Jika kasus ini dikategorikan sebagai pembunuhan (homocide), maka tidak benar adanya, karena definisi pembunuhan menurut Ali (2007) adalah bentuk aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Dalam peristiwa ini, subjek yang melakukan pembunuhan bukan orang melainkan makhluk gaib atau yang biasa disebut jin.

Dari kedua perihal diatas yakni antara mitos dengan logika, dapat disimpulkan bahwa memang rasionalitas dan mistis adalah dua hal berbeda yang tidak dapat disatukan secara padu. Apabila kedua hal tersebut disatukan, maka yang ada hanyalah kontroversi tak berkesudahan. 

Rasionalitas akan memandangnya sebagai ketidak mustahilan, sedangkan mistis akan memandangnya sebagai sebuah tindakan yang lumrah dan bahkan telah menjadi adat budaya bagi kehidupan mereka. 

Bagus Setiawan, Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun