Mohon tunggu...
Bagus PutraW
Bagus PutraW Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Robot produksi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengapa Manusia Modern Masih Percaya Mitos?

5 Agustus 2024   09:51 Diperbarui: 5 Agustus 2024   10:03 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi kursi istana. AI

WARGA Kabupaten Kendal saat ini sedang menyambut perhelatan politik Pilkada Serentak 2024, kemungkinan dengan munculnya calon-calon bupati baru. Pasalnya, Bupati incumbent Dico M Ganinduto informasinya tidak maju lagi dalam pemilihan Bupati Kendal tahun ini, karena hendak bertarung di kontestasi Pilwakot Semarang.

Menariknya, dari rasan-rasan dan kabar burung di warung kucingan, konon alasan Dico memilih untuk maju di Pemilihan Wali Kota Semarang, karena takut akan mitos bahwa tidak ada Bupati Kendal yang bisa melanjutkan dua periode kepemimpinan. Entah benar atau tidak, mitosnya, Bupati Kendal hanya bisa menjabat satu periode saja. Sebenarnya mitos ini tak hanya muncul di Kendal saja, tapi juga di Kabupaten Demak.

Dari cerita masyarakat, mitos di Kendal ini dipercaya terkait dengan Kasultanan Pajang. Saat itu Kendal dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso.

Berawal dari Sultan Pajang yang dikenal bijaksana memberi tugas kepada Tumenggung Bahurekso, seorang panglima perang untuk membuka Alas Roban.

Tumenggung Bahurekso menyanggupinya, dengan kemampuannya ia memulai membuka Alas Roban yang saat itu terkenal banyak dihuni mahluk halus.

Melalui perjuangan panjang, Tumenggung Bahurekso berhasil menaklukkan mahluk-mahluk gaib yang menghalangi jalan mereka. Namun keberhasilan Tumenggung Bahurekso ternyata menimbulkan persoalan pada orang-orang yang berada di sekitar Sultan Pajang.

Sultan Pajang pun mendapat laporan dari orang sekelilingnya, lengkap dengan narasi negatif yang mengandung fitnah, terkait ambisi Tumenggung Bahurekso yang dinarasikan hendak mendirikan kerajaan sendiri dan melawan Pajang.

Singkatnya, Sultan Pajang membuat kutukan siapa pun yang menjadi pemimpin di Kendal hanya bisa menjalankan amanat satu kali saja.

Saya sebenarnya enggan membahas tentang mitos seperti itu. Yang menjadi pertanyaan saya, masih banyak masyarakat modern yang mempercayai mitos tersebut dan dijadikan pegangan. Termasuk Bupati Kendal, Dico M Ganinduto yang konon, awalnya memilih untuk maju di Pilgub Jateng kemudian beralih ke Pilwakot Semarang, didasari mitos tersebut. 

Benar atau tidak, saya belum pernah konfirmasi langsung dengan beliau yang notabene adalah anak muda modern dan pernah mengenyam pendidikan di University of Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat.

Mitos ini, memang mencerminkan hubungan kompleks antara tradisi, kepercayaan, dan realitas politik di masyarakat. Situasi ini menciptakan narasi bahwa ada "kutukan" yang menyelimuti incumbent yang berniat untuk melanjutkan masa jabatan mereka di Kendal, sehingga masyarakat mulai mempercayai bahwa ada kekuatan gaib yang mengatur jalannya pemilihan.

Kepercayaan akan mitos ini tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, tetapi juga melibatkan kalangan terdidik dan modern. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa orang-orang modern masih percaya pada mitos yang tampaknya tidak berdasar? Salah satu alasan utama adalah bahwa mitos sering kali menawarkan penjelasan yang sederhana untuk fenomena kompleks dalam politik.

Dalam konteks Pilkada, banyak orang merasa cemas dan tidak pasti tentang hasil pemilihan, sehingga mereka mencari cara untuk memahami situasi tersebut melalui narasi yang familiar dan mudah dicerna.

Selain itu, mitos juga berfungsi sebagai alat sosial dalam komunitas. Masyarakat sering kali menggunakan mitos untuk membentuk identitas kolektif, membangun solidaritas, dan menjalin hubungan sosial. 

Dalam hal ini, kepercayaan pada mitos menjadi bagian dari budaya lokal yang mengikat masyarakat, meskipun mereka hidup di era modern yang didominasi oleh teknologi dan informasi. Mitos memberikan rasa aman dan kontrol dalam situasi yang tidak pasti, seperti dalam proses politik yang sering kali dipenuhi dengan intrik dan ketidakpastian.

Meskipun berada di era modern, masyarakat masih menggunakan mitos sebagai cara untuk memahami realitas yang ada. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyikapi mitos ini dengan bijak, tidak hanya sebagai bagian dari budaya, tetapi juga sebagai indikator dari dinamika sosial yang lebih luas dalam konteks politik di Indonesia. 

Masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis dan berbasis data dalam menilai calon pemimpin mereka, sembari tetap menghargai nilai-nilai tradisi yang ada.

Atau, jangan-jangan mitos seperti ini sengaja dimunculkan sendiri oleh orang-orang di Kendal yang memang ingin terjadi perubahan di sana? Saya pun tidak berani menyimpulkan, dan biarkan masyarakat Kendal mempersiapkan pesta demokrasi dengan riang gembira, tanpa Mas Dico tentunya.(*)

Gambilangu, 5 Agustus 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun