Maraknya aksi Skullbreaker Challenge (SBC) di luar negeri yang viral hingga ke Indonesia, patut diwaspadai. SBC yang dalam bahasa Indonesianya adalah Tantangan Pemecah Kepala ini sangat berbahaya bagi manusia yang melakukan atau 'dijebak' untuk menjadi korbannya.Â
Video tantangan ini setidaknya telah merenggut 2 nyawa pelajar di Brasil dan Inggeris serta sejumlah orang yang menjadi 'korbannya' terluka parah hingga trauma.Â
Bagi korbannya akan mengalami benturan pada tulang belakang, punggung hingga tempurung kepala. Dimana kita tahu bahwa punggung dan bagian belakang manusa penuh dengan syaraf sehingga jika terbentur secara keras akan mengalami kerusakan pada bagian syaraf dan tempurung kepala bagian belakang. Bahkan akhirnya bisa menyebabkan kecacatan hingga kematian.
Bagaimana tantangan yang dilakukan oleh para milenial, khususnya pelajar ini dapat merebak? Berikut analisis secara psikologi:
1. Masa remaja adalah masa transisi untuk pencarian identitas sehingga mereka mencoba untuk mencari identitas yang dapat mengangkat harga dirinya. Saat mereka tidak mempunyai prestasi lain yang akan diekspose ke lingkungan sosialnya, maka ia akan mengangkat pride atau harga dirinya dengan hal-hal yang membahayakan dan cenderung negatif.Â
Seharusnya remaja/ pelajar dibantu untuk memfasilitasi ekspose potensi/ prestasinya (prestasi akademik maupun non akademik) untuk ditunjukkan kepada lingkungan sosialnya.Â
SBC ini dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan pengakuan/ eksistensi dirinya di lingkungan sosial, khususnya di dunia maya. Hal ini tergolong aktualisasi diri yang negatif, karena tidak ada prestasi lain yang bisa mengangkat pride dan harga dirinya
2. Rasa ingin tahu (need of curiosity) mendorong orang untuk mencoba tantangan ini. Apalagi saat masa perkembangan remaja memancing mereka untuk ingin tahu yang akan terjadi setelah mereka melakukan tantangan ini.
3. Untuk diterima di lingkungan sosial, terkadang remaja melakukan social conformity atau berperilaku menyesuaikan diri dengan trend yang ada di lingkungan sosial mereka. Akibatnya mereka akan cenderung meniru trend/ viral seperti tantangan ini.
4. Bahagianya orang yang melihat, merekam dan memviralkan SBC ini sesungguhnya memiliki kepribadian yang antisosial. Orang dengan kepribadian antisosial memiliki beberapa ciri khas dalam perilaku dan kepribadiannya, seperti sering mengabaikan dan melanggar hak orang lain, tidak memiliki empati atau rasa kasihan pada orang lain, tidak mawas diri, merasa lebih hebat dari orang lain, dan manipulatif. Kita dapat melihat orang disekitar (bystander) justru tertawa bahagia dan tidak mempunyai empati kepada orang lain.
Agar tidak menjadi 'virus' di kalangan remaja/ pelajar di Indonesia maka disarankan agar semua pihak (pemerintah, aparat kepolisian, sekolah, para ahli dan masyarakat) selalu mengkomunikasikan dampak negatif dari tantangan ini kepada remaja/ pelajar.Â