Hari ini, 9 Desember, diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Â Hogwood & Peters (1985) dalam bukunya The Pathologies of Bureaucracy menganalogikan korupsi dan manipulasi sebagai kelainan tubuh karena kecanduan (addicted). Betapa tidak, kenikmatan hasil korupsi yang mewah dapat membuai manusia untuk kembali menikmatinya secara terus menerus. Ini merupakan hal yang manusiawi, kenikmatan membuat perilaku sering diulang. Kondisi ini juga disebabkan oleh euphoria reformasi yang dialami oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Setelah kebebasan individu terbelenggu selama 30 tahun, masyarakat yang menerima kebebasan yang dipersepsikan sebagai kebebasan mutlak, merasakan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang baru sebanyak-banyak. Termasuk kebebasan untuk mendapatkan materi dari hasil korupsi.
Korupsi-manipulasi digolongkan dalam patologi sosial karena korupsi telah menjadi penyakit yang menyengsarakan kepentingan sosial. Dampak material dari perilaku korupsi dapat segera dirasakan oleh publik secara langsung. Sehingga jika korupsi tidak ditanggulangi segera maka penyakit ini menjadi semakin kronis dan menyebar. Hal ini disebabkan bahwa korupsi yang awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan materialisme individu dan atau kelompok tertentu tidak hanya mengakibatkan kerugian material namun juga tatanan nilai moral suatu bangsa pada umumnya.
Dewasa ini, segala sesuatu selalu dihargai dengan materi yang menyebabkan meningkatnya jiwa materialistis masyarakat (Materialistic Value Oriented/ MVO). Semboyan pelayanan yang umum digunakan saat ini adalah 'ada uang maka urusan jadi lancar' menyebabkan individu semakin terbius dengan kenikmatan-kenikmatan materi.Â
Memang pada hakikatnya, individu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan materialnya dalam mempertahankan hidup. Segala kebutuhan primer, sekunder hingga tersier membutuhkan materi untuk memenuhinya. Kondisi ini yang membuat manusia secara tidak sadar menghargai segala sesuatu dengan materi. Materi inilah yang membuat individu terlena dengan pemenuhan segala kebutuhan yang tidak pernah terpuaskan.Â
Pada akhirnya, bagaikan obat bius yang menyebabkan ketagihan maka individu sesungguhnya sudah masuk dalam jeratan kecanduan materi. Siapa yang patut disalahkan? Dalam hal ini, kita sebagai anggota masyarakat yang membiasakan individu lain merasakan kenikmatan material akan menjerumuskan individu bahkan akhirnya komunitas masyarakat dalam kecanduan materi (material addicted). Meskipun tiada kita pungkiri bahwa setiap manusia menginginkan adanya kemudahan dan kelancaran dalam urusannya tanpa birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit.
Bagaimana proses terjadinya kecanduan materi sebagai penyakit yang mewabah dalam komunitas bangsa? Ibaratnya suatu penyakit, korupsi yang disebabkan oleh kecanduan materi yang dialami individu akan mewabah dengan 2 cara;
kultural; yaitu individu mempunyai peranan dalam proses mempengaruhi lingkungan sosial yang selanjutnya lingkungan sosial akan mempengaruhi individu lain (sebagaimana teori Medan yang dikemukakan oleh Kurt Lewin). Jika individu yang berinteraksi dengan individu lain dalam komunitas, dimana individu tersebut mengalami kecanduan materi, maka interaksi tersebut mengakibatkan self organizing. Yaitu suatu kondisi dimana individu menyesuaikan dengan perilaku oleh orang lain dalam komunitas tersebut.Â
Bisa dikatakan bahwa self organizing ini merupakan awal pijakan adanya konfirmitas individu terhadap kelompok atau anggota kelompoknya. Hal ini pulalah yang menyebabkan wabah kecanduan materi berkembang dari individu (mikrosistem) ke komunitas yang lebih luas (makrosistem). Inilah yang disebut sebagai kecanduan materi sebagai 'virus' yang menyebarkan penyakit korupsi.Â
struktural; yang dimaksud struktural disini adalah struktur organisasi suatu bangsa dan negara yang dikelola oleh pemerintah. Pengelolaannya ini diwujudkan dalam aturan-aturan atau birokrasi untuk tatanan masyarakat. Perilaku korupsi yang dimunculkan oleh kecanduan materi jika ditinjau dari sumber penyebab struktural adalah adanya contoh birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit untuk membuka peluang adanya korupsi-manipulasi.Â
Rupanya struktural (baca: pemerintah) perlu menyadari adanya peluang birokrasi sebagai wadah menyalurkan ketagihan terhadap material. Adanya penyalahgunaan kekuasaan untuk pelaksanaan tender pengadaan, mekanisme birokrasi yang obesitas dalam mengurus kepentingan publik, ataupun pungutan-pungutan liar menunjukkan peluang untuk oknum-oknum aparatur pemerintahan merasakan ketagihan materi. Praktek mafia birokrasi ini yang menyebabkan 'virus' korupsi semakin merajalela.
Pendapat yang memperkuat cara penyebaran wabah korupsi ini berasal dari Richard Dawkins (2005) yang menyatakan bahwa penyebaran ini dipengaruhi oleh meme (baca: meim- Yunani). Meme adalah unit dalam pemikiran manusia yang bertugas untuk melakukan transmisi kultural. Unit ini semacam DNA pada manusia untuk membawa pesan atau informasi khusus, baik dari dalam maupun dari luar individu. Ketika individu mendapatkan semacam 'doktrin' (keyakinan, pemikiran, ide, teori, kebiasaan, lagu, tari, mood, fashion dan segala macam stimulasi dari lingkungan) Â maka meme ini yang bertugas untuk menyalurkan dalam kognisi manusia sekaligus berusaha mempertahankannya pada individu dengan cara internalisasi nilai-nilai.
Bahkan Richard Dawkins menambahkan bahwa meme ini bersifat dapat diturunkan secara genetis (selfish gene) bahkan dengan proses replikasi, ia mampu memperkuat eksistensinya dalam pemikiran manusia. Kondisi ini yang membuatnya oleh para ahli sebagai 'virus aktif' yang mampu berkomunikasi dengan unit pada individu lain.Â
Namun proses replikasi, genetis dan keaktifan meme dalam berkomunikasi ini tidak membuat kita pesimis untuk mengantisipasi penyebaran wabah penyakit korupsi. Kondisi ini disebabkan ia juga mampu dipengaruhi oleh lingkungan dan bermutasi sebagaimana sifat genetis biologis lainnya. Oleh karena itu, peranan lingkungan yang menjadi penyebab dan pengaruh bagi individu juga dapat dijadikan penangkal. Karena 'doktrin' moral dan religiusitas pun dapat disebarkan dan diinternalisasi oleh meme. Dengan demikian, penangkalan virus korupsi ini juga menggunakan 2 cara;
Kultural; masyarakat harus selalu menginternalisasi nilai bahwa korupsi adalah perbuatan negatif/ menyimpang sehingga akibat dari tindakan korupsi menyebabkan kesengsaraan rakyat. Sebenarnya secara psikologis, manusia takut dikatakan menyimpang dari norma-norma sosial. Jika kita bisa melakukan social punishment kepada perilaku korupsi maka setidaknya ada efek malu kepada pelaku dan keluarganya.
Struktural; pemerintah disarankan untuk menciptakan birokrasi yang efisien dengan mengutamakan filosofi birokrasi pemerintah, yaitu social benefit, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan birokrasi yang efisien (lean government) maka celah tindakan koruptif dapat dicegah.
Semoga hari anti korupsi dunia tidak hanya diperingati dengan rutinitas momentum namun dengan gebrakan kebijakan publik yang pro kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran oknum pejabat.
Dr. M. G. Bagus Ani Putra
Psikolog Sosial
Dosen Pascasarjana Psikologi UNTAG Surabaya
Lean Manager PT. Sekar Laut, Tbk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H