“ini mas pesanannya”, ujar pemilik warung. “mungkin karena haus, dia ke mari pesan minuman yang ternyata sama dengan yang mas pesan kemarin”. Lanjutnya. “Terus dia ceritakan hal itu. Lalu dia meminjam kertas dan pulpen”, sambungnya sembari mengambil kertas di dekat tempat gula di samping sebuah termos. “katanya kasihkan ke orang pertama yang datang kesini” tangkas bapak berkumis tebal sembari berjalan ke luar warungnya menuju kea rah ku duduk. “eh ternyata si mas yang datang duluan” ujarnya sembari menghampiri ku dan duduk disampingku.
“ini mas” katanya sambil menyodorkan sehelai kertas yang dilipat empat bagian. “kemarin dia menitipkannya ke saya, karena ini amanat saya gak berani baca”, ujarnya sembari tersenyum hangat.
Kuterima kertas itu dengan hati yang kebingungan dan ku buka perlahan. Ku temukan kata-kata
“aku sedang gulana
aku butuh bahu untuk ku menangis
aku butuh kau untuk ku melepas duka
tapi skenario ini tidak untuk aku”
Untuk pria bercelana oranye.
Aku masih bimbang, bingung, dan tidak bisa berpikir lagi. Apa maksud kata-kata ini? Dan siapa pria bercelana oranye>
Seketika itu, kopi hitam yang ku pesan tersenggol tangan kanan ku ketika melipat kertas. Air kopi panas ini tumpah ke celana pendek ku. Dan seketika itu juga aku sadar, bahwa celana ku berwarna oranye.
Timbul pertanyaan di otak ku dan ku tanyakan ke sang bapak berkumis tebal, “terus perempuan itu kemana pak?”. “dia langsung pulang ke rumah neneknya di Jakarta malam itu juga naik pesawat”, singkap si empunya warung.
Sekali lagi aku terbersit pikiran awal ku tadi dan kata terakhir si perempuan bergaun biru. “Skenario ini tidak untuk aku”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H