Mohon tunggu...
Bagus Adinata
Bagus Adinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan seseorang yang memiliki ketertarikan dengan bidang filsafat, sastra, sains, sejarah, dan karya seni seperti film, musik, arsitektur, dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menemukan Makna dari Pengalaman Spiritual

10 Juli 2024   22:00 Diperbarui: 10 Juli 2024   22:02 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna Hidup sebagai Manusia

            "We are spiritual beings, having human experience".

Kita adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman sebagai manusia. Lantas apa yang disebut sebagai manusia? Apa yang perlu kita lakukan sebagai manusia yang hidupnya hanya sementara? Hidup manusia relatif singkat bagi orang dengan banyak keinginan dan harapan, namun relatif panjang bagi orang yang telah kehilangan semangat hidup setelah diterpa berbagai badai kehidupan. 

Apa yang dicari dalam kehidupan ini? Apakah hidup hanya untuk mencari kesenangan semata (will to pleasure)? Ataukah hidup untuk bekerja dan terus bekerja mengumpulkan harta dan kekuasaan (will to power)? Atau sebenarnya terdapat makna dari setiap kehidupan manusia yang penuh perjuangan dan penderitaan di muka bumi ini (will to meaning)? Jika memang kehidupan manusia memiliki makna, apakah makna tersebut telah ditentukan sejak kita lahir menurut perspektif essentialism? Ataukah makna tersebut perlu kita ciptakan sendiri menurut perspektif existentialism?

Bagi kita yang hidup dalam budaya timur dengan ajaran moralitas dan tradisi agama yang kuat, tampaknya pola pikir kita cenderung mengarah ke sudut pandang essentialism. Makna hidup kita telah ditentukan sejak awal dan kita hanya perlu mematuhinya. Norma yang umum dalam masyarakat menuntut kita untuk hidup baik, bekerja, berkeluarga, sukses baik secara akademis, finansial, karir, dan lain sebagainya. Begitu banyak kewajiban yang harus dipenuhi dari berbagai peran dengan esensi telah melekat dengan konsep diri kita. 

Sebagai anak, kita perlu berbakti kepada orang tua. Sebagai orang tua kita perlu mendidik dan merawat anak. Sebagai makhluk hidup kita perlu terus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai umat beragama kita perlu menjalankan kewajiban ibadah dan menaati aturan serta cara hidup yang telah ditentukan. Namun dibalik seluruh tuntutan tersebut, apa yang sebenarnya kita harapkan dalam hidup? Apakah kehidupan ini hanya untuk memenuhi segala tuntutan yang dilimpahkan kepada kita hingga kematian datang di depan mata?

Berbeda dari essentialism, paradigma existentialism yang berpendapat bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya. Manusia hadir di dunia tanpa memiliki tujuan yang jelas, eksistensi manusia hanya merupakan probabilitas dari alam semesta. Kita tidak hadir dalam dunia untuk memenuhi tuntutan bawaan yang seakan dipaksakan terhadap kita dari norma dan aturan masyarakat. Kita bebas memilih dan bertanggung jawab atas pilihan hidup yang telah kita tentukan. 

Makna hidup kita ditentukan sepenuhnya oleh diri kita sendiri, bukan oleh keluarga, sekolah, masyarakat, agama, bahkan negara. Tentunya berbagai pihak tersebut memiliki peran dalam membentuk pemikiran, perasaan, dan tindakan kita, namun pada akhirnya segala pilihan kita akan ditentukan oleh diri kita sendiri baik secara sadar maupun tidak sadar. Satu-satunya tuntutan bagi kita sebagai manusia yaitu untuk menemukan makna hidup kita sendiri secara personal, dengan perbedaan individu sebagai kartu yang dibagikan alam semesta kepada kita.

Proses untuk menemukan makna hidup tentunya tidaklah mudah. Lalu untuk apa menemukan makna hidup? Apakah kita benar-benar perlu menemukannya? Tampaknya makna hidup bukan sesuatu yang dapat diperoleh dengan paksaan maupun proses yang instan. Pertanyaan mengenai arti keberadaan kita di dunia biasa dipicu oleh peristiwa yang drastis dalam hidup. Kehilangan seseorang yang dikasihi, kehilangan pekerjaan, perubahan drastis dari lingkungan seperti pandemi covid-19, transisi masa kehidupan, keterasingan, dan ketidakpastian hidup dapat menjadi pemicu timbulnya keinginan akan pencarian makna dalam kehidupan. Saat segala yang berharga dalam hidup telah direnggut, apa yang menjadi alasan bagi kita untuk bertahan dalam kehidupan yang penuh derita ini? Spiritualitas menjadi salah satu konsep yang mampu membantu kita menemukannya.

 

Spiritualitas

Saat mendengar kata spiritualitas, kita cenderung untuk mengaitkannya pada agama. Namun, secara pengertian spiritualitas dan agama merupakan dua hal yang berbeda. Menurut Guillory (2000), spiritualitas merupakan sumber yang mendorong aktivitas humanis dan berorientasi pada kinerja yang melayani kepentingan terbaik bagi individu dan organisasi. Sedangkan agama merupakan ekspresi dari spiritualitas yang termanifestasi dalam bentuk aturan hidup, ritual, dan struktur.

Untuk memperjelas perbedaan antara spiritualitas dan agama, terdapat beberapa kata yang dapat menjadi acuan. Kata yang menggambarkan spiritualitas diantaranya adalah "sesuatu yang lebih besar", "tidak berwujud", "intuitif", dan "kosmik". Sedangkan kata yang menggambarkan agama yaitu "konkrit", "aturan", "batasan", dan "organisasi".

Spiritualitas sendiri berasal dari kata bahasa Inggris "spirit" yang juga merupakan kata serapan bahasa Latin "spiritus". Spiritus memiliki arti jiwa, keberanian, semangat, dan nafas. Menurut Lepherd (2015), spiritualitas dapat berarti esensi diri seseorang yang memiliki kesadaran diri dan kekuatan dari dalam, yang dapat membantu orang tersebut untuk merasakan pengalaman transendensi melampaui diri sendiri. 

Jika kata "spirit" mengacu pada pikiran dan jiwa atau batin, spiritualitas merupakan keadaan atau kondisi dari pikiran manusia. Aspek utama yang terkandung dalam spiritualitas adalah keterhubungan dengan diri sendiri, orang lain, makhluk hidup lain, lingkungan sekitar, dan alam semesta.

Tanda bahwa seseorang memiliki spiritualitas yang baik adalah orang tersebut memiliki kedamaian jiwa dan pemenuhan diri. Kedamaian jiwa ditunjukkan dengan adanya harmoni, perasaan nyaman, dan ketiadaan penderitaan. Sedangkan pemenuhan diri ditunjukkan dengan adanya integrasi tubuh, pikiran, dan perasaan dalam setiap langkah kehidupan kita. Dengan mengembangkan spiritualitas, kita dapat meningkatkan psychological well-being, kesehatan, keterhubungan dengan komunitas, pengembangan diri, dan kedekatan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.

Perspektif Psikologi terhadap Spiritualitas

            Dalam lingkup psikologi, terdapat beberapa perspektif yang membahas mengenai spiritualitas. Dari perspektif psikoanalisa, terdapat tokoh bernama Carl Jung yang mengajukan teori terkait dengan pengalaman spiritual. Beberapa teori terkait spiritualitas yang ia kemukakan di antaranya yaitu collective unconscious mind, archetypes, individuasi, dan sinkronsitas. Teori collective unconscious mind menyatakan bahwa manusia dari berbagai latar belakang sebenarnya memiliki keinginan dasar yang sama. Keinginan untuk mengasihi dan dikasihi, menjadi bijaksana, merasa bahagia, dan keinginan untuk menjadi lebih baik secara umum dimiliki oleh semua manusia. 

Keinginan tersebut kemudian dinyatakan dalam rupa archetypes atau simbol universal yang dapat membantu keterhubungan antar satu individu dengan yang lain. Dengan mengenal dan memahami archetypes, proses individuasi yang mencakup pengenalan dan pemenuhan diri sebagai salah satu aspek spiritualitas dapat tercapai. Sinkronsitas sebagai kesesuaian antara kondisi internal dan eksternal diri juga menjadi salah satu konsep yang mendukung terbentuknya spiritualitas.

Dari perspektif psikologi transpersonal, Abraham Maslow memiliki beberapa teori yang berkaitan dengan spiritualitas. Teori tersebut di antaranya yaitu hierarchy of needs dan self-transcendence memiliki hubungan dengan pengalaman spiritual. Hierarchy of needs menyatakan bahwa manusia memiliki beberapa kebutuhan yang secara berurutan yaitu kebutuhan dasar akan makanan, minuman, tempat tinggal, dan seksual, kebutuhan akan rasa aman, sense of belonging, self-esteem, dan aktualisasi diri. 

Saat kebutuhan dasar telah terpenuhi, manusia akan cenderung untuk mencari hubungan yang bermakna dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri, menemukan dan mengembangkan potensi diri. Proses dalam menemukan dan mengembangkan potensi diri tersebut merupakan salah satu aspek yang terkait dengan spiritualitas. Kemudian, self-transcendence merupakan kebutuhan di atas aktualisasi diri yang meliputi pengalaman transendensi melampaui diri untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Sesuatu yang lebih besar dari diri ini dapat berupa humanity, alam semesta, kosmos, maupun Tuhan.

Pengembangan Spiritualitas

Agama menjadi salah satu bentuk yang paling umum dalam mengekspresikan spiritualitas, namun bukanlah satu-satunya cara. Menikmati waktu di alam melalui pendakian, berkebun, atau hanya dengan duduk di taman dapat membantu kita merasakan keterhubungan dengan alam semesta. Berhenti sejenak dan mengamati lingkungan sekitar setelah lepas dari keseharian yang penuh dengan kesibukan, dapat membantu kita merasakan pengalaman spiritual. Menikmati dan membuat karya seni dalam rupa musik, lukisan, benda-benda antik dan lain sebagainya juga dapat menjadi sumber pengalaman spiritual.

Praktik meditasi, yoga, dan tai chi juga dapat menjadi metode dalam mengembangkan spiritualitas. Kegiatan tersebut dapat menjadi penghubung antar individu dalam suatu komunitas. Adanya kebersamaan dengan orang-orang yang memiliki semangat yang sama dapat membantu kita meningkatkan spiritualitas diri. Dengan adanya komunitas, kita juga dapat melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk dapat menemukan inspirasi, pembaruan, dan hubungan yang lebih dalam dengan kepercayaan yang kita miliki.

Cara lain untuk mengembangkan spiritualitas adalah dengan refleksi diri dan menulis diari, puisi, dan berbagai bentuk tulisan yang menggambarkan pikiran dan perasaan kita. Dengan melakukan refleksi, kita dapat lebih mengenal apa yang menjadi ketakutan dan harapan terbesar kita dalam hidup. Menuangkan apa yang kita temukan dari diri kita dalam bentuk tulisan dapat membantu kita untuk memahami diri secara lebih mendalam. Setelah mengetahui apa yang benar-benar penting dalam hidup, kita juga dapat mencoba mengikuti kegiatan sosial yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan sosial maupun lingkungan hidup. Kontribusi yang kita lakukan terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri kita mampu membawa kita melampaui diri dan menjadi satu dengan alam semesta.

Penutup

            Hidup manusia di atas bumi dan di bawah langit hanya sementara. Kita sebagai makhluk spiritual dalam wujud manusia tidak akan selamanya hidup di dunia ini. Berbagai pengalaman hidup, baik suka maupun duka suatu saat akan berakhir. Dengan mengembangkan spiritualitas, kita akan lebih memahami arti hidup sebagai manusia dan menjalani hidup yang bermakna baik bagi diri sendiri, sesama, dan alam semesta.

 

 

Daftar Pustaka

Guillory, W. A. (2000). Spirituality in the workplace. Salt Lake City, UT: Innovations International.

Lepherd, L. (2015). Spirituality: Everyone has it, but what is it? International Journal of Nursing Practice, 21(5), 566--574. https://doi.org/10.1111/ijn.12285

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun