Kekalahan United terhadap Liverpool beberapa waktu lalu tentu masih menyisakkan luka bagi fans Setan Merah. Betapa tidak, United kalah tipis 1-0 dari Liverpool. Di sisi lain, pertandingan pun kerap diwarnai aksi-aksi penjegalan pemain Liverpool tanpa peringatan pelanggaran dari wasit. Marah, malu, frustasi tentu campur baur dirasakan baik pemain asuhan David Moyes maupun fans mereka.
Laga yang dilalui dengan buruk ini membuat fans meragukan kinerja Moyes. Meskipun ia mendapat rekomendasi penuh dari Alex Ferguson – pelatih United sebelumnya, keraguan terhadap kemampuan pelatih berumur 50 tahun ini tak surut. Fans United di seluruh dunia masih mengelu-elukan Ferguson. Kemampuan Ferguson seakan tak tergantikan.
Tapi, hey! Tragedi United di Anfield, dan drama yang sedang dilalui Moyes tidak akan saya bahas di sini. Saya lebih tertarik membahas Alex Ferguson saat ini. Sejarah Fergie dengan klub yang bermarkas di Old Trafford ini selalu menarik untuk dijadikan pelajaran hidup.
Sebagai generasi yang mengenal gegap gempita sepak bola di tahun ‘98an, tentu saya hanya melihat kejayaan United dan piawainya Fergie. United saat itu memiliki skuad impian dari mulai pemain hardcore Roy Keane; pemain ganteng macam Paul Scholes, David Beckham, Solkjaer; pemain kalem nan mematikan Ryan Giggs; hingga lini belakang yang solid macam Gary Neville dan Jaap Stam. Di tahun itu pula United meraih tiga trophi juara dalam semusim yang disebut The Treble.
Kenangan kejayaan United masih membekas sampai sekarang. Tetapi tak satupun melihat bahwa kejayaan tersebut tak diraih Fergie dan United dengan serta merta. Prosesnya panjang dan di luar ekspektasi orang.
Karir Fergie di United berawal di musim 1986/1987. Di tahun tersebut United bukanlah tim yang gemilang seperti sekarang. Terseok-seok di posisi buncit, para pemainnya terbelit masalah kecanduan alkohol (termasuk pemain andalannya), dan disiplin tim yang carut marut. Pokoknya ini tim memang madesu alias masa depan suram!
Sebelum memilih melatih ke United, sebenarnya Fergie sedang diusulkan untuk menjadi salah satu direktur di klub Aberdeen. Karena jasa-jasanya dalam melatih klub tersebut. Tetapi nampaknya, Fergie bukanlah pemain yang gentar meninggalkan kemapanan dan puja-puji. Ia memilih pindah ke United yang saat itu tak jelas juntrungannya.
Meskipun akhirnya Fergie bisa menerapkan disiplin dan menanggulangi kecanduan alkohol pada para pemainnya, performa awal United di bawah Fergie masih jatuh bangun. Klub ini sempat kalah dari klub Oxford City, lalu menang dari Liverpool sang musuh bebuyutan. Di musim perdananya Fergie membawa United menempati peringkat 11 setelah sempat terseok di peringkat 21. Tak cukup bagus, namun juga tak buruk.
Pelan tapi pasti keterpurukan United dan mimpi buruk Fergie berakhir. Fergie punya insting yang bagus dalam memilih pemain. Salah satunya ketika menggaet Eric Cantona. Mental juara cantona mampu memberi ruh pada skuad United. Sejarah mencatat Fergie berhasilkan melahirkan skuad keren yang disebut “The Class of ’92”: Paul Scholes, Gary Neville, Nicky Butt, David Beckham,dan Ryan Giggs. Opini publik saat itu, “United tidak akan memenangkan apapun dengan skuad belia.”
Fergie keukeuh menjual para pemain senior dan memakai para pemain yang masih berondong ini. Hasilnya, setan Merah mendominasi sepakbola seperti iblis dari tendangan tengah lapang Beckham hingga meraih treble winner.
Kisah Fergie mengajarkan saya bahwa untuk menjadi pemimpin yang sukses, kadang kita harus kesampingkan segala opini orang. Selama yang dilakukan itu benar dan demi kebaikan, mengapa harus ikut apa kata orang? Trend setter berbeda dengan pengikut tren itu sendiri. Ia pencipta, ia penggugah kesadaran, ia menggerakan.
Ketika saya bertemu Anies Baswedan terkait keikutsertaannya ke Konvensi Demokrat, kisah Fergie menjadi salah satu acuan saya untuk mendukung Anies. Demokrat saat ini, tak ubahnya United di tahun 1986. Elektabilitas merosot, disiplin kader amburadul. Kadernya alkoholik berat, alkoholik terhadap kekuasaan dan uang. Playmaker-nya dikejar-kejar KPK. Demokrat hampir di titik nadir.
Anies, bisa saja menolak undangan konvensi. Kesan Anies di mata masyarakat sudah baik dengan program dan tulisan-tulisannya yang humanis, he is Mr. Clean. Tetapi ia memilih memasuki ranah yang disadari akan penuh caci maki (toh tetap ada yang memuji). Ia berani melawan opini publik. Tujuan Anies cuma satu, bahwa apa yang dilakukannya ini demi kebaikan. Bahwa orang baik perlu lebih banyak turuntangan mengurusi persoalan negeri ini, salah satunya lewat politik. Bahwa orang baik seharusnya tidak menunggu semuanya lancar lalu baru berbuat.
Apa yang dilakukan Anies saat ini, mungkin seperti Fergie dahulu, tak banyak orang yang tahu dan tak banyak yang paham. Ketika waktunya tepat, dan semuanya siap, hasilnya baru akan terasa. Satu hal yang pasti, seperti Fergie, Anies butuh waktu dan gelanggang. Jika Fergie menemukan gelanggang pertarungannya di Old Trafford, maka Anies di Konvensi Demokrat. Jika kita hanya nyinyir Anies belum berpengalaman tanpa mempersilakan ia bertarung, maka kita telah terperangkap hipokrisi.
Sepak bola dan politik memang beda. Anies dan Fergie pun beda secara individu. Satu hal yang pasti, pemimpin hebat tidak lahir dari arena yang biasa-biasa saja. Seringkali pemimpin hebat ditempa dahulu dari kondisi serba minim, dari masa-masa sulit dan keberaniannya untuk mengambil keputusan memilih jalan terjal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H