Ketika saya bertemu Anies Baswedan terkait keikutsertaannya ke Konvensi Demokrat, kisah Fergie menjadi salah satu acuan saya untuk mendukung Anies. Demokrat saat ini, tak ubahnya United di tahun 1986. Elektabilitas merosot, disiplin kader amburadul. Kadernya alkoholik berat, alkoholik terhadap kekuasaan dan uang. Playmaker-nya dikejar-kejar KPK. Demokrat hampir di titik nadir.
Anies, bisa saja menolak undangan konvensi. Kesan Anies di mata masyarakat sudah baik dengan program dan tulisan-tulisannya yang humanis, he is Mr. Clean. Tetapi ia memilih memasuki ranah yang disadari akan penuh caci maki (toh tetap ada yang memuji). Ia berani melawan opini publik. Tujuan Anies cuma satu, bahwa apa yang dilakukannya ini demi kebaikan. Bahwa orang baik perlu lebih banyak turuntangan mengurusi persoalan negeri ini, salah satunya lewat politik. Bahwa orang baik seharusnya tidak menunggu semuanya lancar lalu baru berbuat.
Apa yang dilakukan Anies saat ini, mungkin seperti Fergie dahulu, tak banyak orang yang tahu dan tak banyak yang paham. Ketika waktunya tepat, dan semuanya siap, hasilnya baru akan terasa. Satu hal yang pasti, seperti Fergie, Anies butuh waktu dan gelanggang. Jika Fergie menemukan gelanggang pertarungannya di Old Trafford, maka Anies di Konvensi Demokrat. Jika kita hanya nyinyir Anies belum berpengalaman tanpa mempersilakan ia bertarung, maka kita telah terperangkap hipokrisi.
Sepak bola dan politik memang beda. Anies dan Fergie pun beda secara individu. Satu hal yang pasti, pemimpin hebat tidak lahir dari arena yang biasa-biasa saja. Seringkali pemimpin hebat ditempa dahulu dari kondisi serba minim, dari masa-masa sulit dan keberaniannya untuk mengambil keputusan memilih jalan terjal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H