Mohon tunggu...
Bagus Handoko
Bagus Handoko Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Indonesian,old days public policy consultant, long life motorbike rider, travel photographer, soldier of fortune, mercenary of love

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Alex Ferguson Pernah Diragukan, Begitu Pula Anies Baswedan

25 September 2013   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:25 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekalahan United terhadap Liverpool beberapa waktu lalu tentu masih menyisakkan luka bagi fans Setan Merah. Betapa tidak, United kalah tipis 1-0 dari Liverpool. Di sisi lain, pertandingan pun kerap diwarnai aksi-aksi penjegalan pemain Liverpool tanpa peringatan pelanggaran dari wasit. Marah, malu, frustasi tentu campur baur dirasakan baik pemain asuhan David Moyes maupun fans mereka.

Laga yang dilalui dengan buruk ini membuat fans meragukan kinerja Moyes. Meskipun ia mendapat rekomendasi penuh dari Alex Ferguson – pelatih United sebelumnya, keraguan terhadap kemampuan pelatih berumur 50 tahun ini tak surut. Fans United di seluruh dunia masih mengelu-elukan Ferguson. Kemampuan Ferguson seakan tak tergantikan.

Tapi, hey! Tragedi United di Anfield, dan drama yang sedang dilalui Moyes tidak akan saya bahas di sini. Saya lebih tertarik membahas Alex Ferguson saat ini. Sejarah Fergie dengan klub yang bermarkas di Old Trafford ini selalu menarik untuk dijadikan pelajaran hidup.

Sebagai generasi yang mengenal gegap gempita sepak bola di tahun ‘98an, tentu saya hanya melihat kejayaan United dan piawainya Fergie. United saat itu memiliki skuad impian dari mulai pemain hardcore Roy Keane; pemain ganteng macam Paul Scholes, David Beckham, Solkjaer; pemain kalem nan mematikan Ryan Giggs; hingga lini belakang yang solid macam Gary Neville dan Jaap Stam. Di tahun itu pula United meraih tiga trophi juara dalam semusim yang disebut The Treble.

Kenangan kejayaan United masih membekas sampai sekarang. Tetapi tak satupun melihat bahwa kejayaan tersebut tak diraih Fergie dan United dengan serta merta. Prosesnya panjang dan di luar ekspektasi orang.

Karir Fergie di United berawal di musim 1986/1987. Di tahun tersebut United bukanlah tim yang gemilang seperti sekarang. Terseok-seok di posisi buncit, para pemainnya terbelit masalah kecanduan alkohol (termasuk pemain andalannya), dan disiplin tim yang carut marut. Pokoknya ini tim memang madesu alias masa depan suram!

Sebelum memilih melatih ke United, sebenarnya Fergie sedang diusulkan untuk menjadi salah satu direktur di klub Aberdeen. Karena jasa-jasanya dalam melatih klub tersebut. Tetapi nampaknya, Fergie bukanlah pemain yang gentar meninggalkan kemapanan dan puja-puji. Ia memilih pindah ke United yang saat itu tak jelas juntrungannya.

Meskipun akhirnya Fergie bisa menerapkan disiplin dan menanggulangi kecanduan alkohol pada para pemainnya, performa awal United di bawah Fergie masih jatuh bangun. Klub ini sempat kalah dari klub Oxford City, lalu menang dari Liverpool sang musuh bebuyutan. Di musim perdananya Fergie membawa United menempati peringkat 11 setelah sempat terseok di peringkat 21. Tak cukup bagus, namun juga tak buruk.

Pelan tapi pasti keterpurukan United dan mimpi buruk Fergie berakhir. Fergie punya insting yang bagus dalam memilih pemain. Salah satunya ketika menggaet Eric Cantona. Mental juara cantona mampu memberi ruh pada skuad United.  Sejarah mencatat Fergie berhasilkan melahirkan skuad keren yang disebut “The Class of ’92”: Paul Scholes, Gary Neville, Nicky Butt, David Beckham,dan Ryan Giggs. Opini publik saat itu, “United tidak akan memenangkan apapun dengan skuad belia.

Fergie keukeuh menjual para pemain senior dan memakai para pemain yang masih berondong ini. Hasilnya, setan Merah mendominasi sepakbola seperti iblis dari tendangan tengah lapang Beckham hingga meraih treble winner.

Kisah Fergie mengajarkan saya bahwa untuk menjadi pemimpin yang sukses, kadang kita harus kesampingkan segala opini orang. Selama yang dilakukan itu benar dan demi kebaikan, mengapa harus ikut apa kata orang? Trend setter berbeda dengan pengikut tren itu sendiri. Ia pencipta, ia penggugah kesadaran, ia menggerakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun