Namun, dalam konteks kekinian, pernyataan juru bicara OPM tersebut tidak hanya mengingkari fakta sejarah dan kebenaran yuridis, namun dapat disebut sebagai upaya mengelabui dan memperdaya masyarakat Papua.
Dalam hal fakta sejarah dan kebenaran hukum, justru masyarakat Papua sudah memberikan sebuah pernyataan tegas untuk merdeka atau bersama Indonesia. Pernyataan itu diformalkan dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.
Mereka yang mengingkari fakta tersebut biasa mengatakan bahwa Pepera adalah akal-akalan Indonesia untuk menguasai Papua, sampai mengatur hasilnya agar masyarakat Papua memilih untuk bergabung ke Indonesia.
Jelas itu merupakan Tuduhan keji dan ngawur. Indonesia justru membantu memerdekakan Papua untuk lepas dari penjajahan Belanda melalui Perjanjian New York tahun 1962, untuk kemudian memberi kesempatan masyarakat Papua mengambil keputusan sendiri melalui Pepera dengan proses yang lebih legitimate.
Integrasi Papua ke Indonesia sudah sah, disetujui dan disahkan PBB. Bahkan, mereka melakukan supervisi langsung ketika diadakan Pepera tahun 1969. PBB mengutus 50 orang untuk mengawasi pelaksanaan Pepera yang dilakukan di 8 kabupaten dan oleh dihadiri 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mewakili 809.327 penduduk Papua kala itu.
Hasil Pepera di 8 kabupaten tersebut secara mutlak memilih dan menetapkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat. Sehingga secara de Facto masyarakat Papua telah memilih untuk berintegrasi dan masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia -- NKRI.
Pepera sendiri disahkan melalui Resolusi PBB No. 2504 pada sidang umum 19 November 1969, yang disetujui oleh 82 negara, sedangkan 30 negara lainnya memilih abstain.
Pihak-pihak yang kontra dan tidak suka dengan keputusan tersebut memberikan argumen bahwa Resolusi PBB Nomor 2504 dianggap merampas hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial-budaya (sipol-ekososbud) rakyat Papua Barat. Menuduh dan membuat fitnah bahwa  resolusi PBB adalah kepentingan Imperialis AS untuk tujuan ekonomi, dan kepentingan politik Indonesia. Ini jelas hanya tuduhan dan fitnah dari kelompok separatis / organisasi Papua Merdeka.
Kita tidak bicara politik dalam konteks ini, namun hukum, tepatnya hukum internasional. Resolusi PBB Nomor 2504 itu merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Papua.
Atas dasar itu, penting untuk kita pahami bahwa setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku.
Resolusi PBB diakui secara internasional sebagai sebuah bentuk dari hukum internasional. Masalahnya sekarang, bagi pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Papua menjadi bagian dari Indonesia, hanya bermotifkan ingin Papua merdeka. Itu artinya, pihak-pihak tersebut tidak mau belajar sejarah dan hukum.
Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi tadi. Kemudian, resolusi PBB pun merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) yang sudah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.