Mohon tunggu...
Tubagus Abdul Khaelani
Tubagus Abdul Khaelani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Pendidikan Saat Pandemi dan Setelahnya?

7 Juli 2021   00:40 Diperbarui: 7 Juli 2021   00:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tubagus Abdul Khaelani

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Universitas Negeri Jakarta

Covid-19 sudah ada sekitar kita lebih dari satu tahun. Hadirnya virus yang membawa pandemi sejak awal tahun 2020 ini membawa banyak sekali perubahan dalam hidup manusia. Saat pertama kali virus ini muncul dan menjadi pandemi banyak sekali sector yang hancur berantakan karena tidak adanya kesiapan menghadapi pandemi. Memang pandemi juga bukan hal yang bisa diprediksi begitu saja seperti tsunami yang saat ini sudah ada alat pendeteksinya. Tapi poin utamanya adalah bagaimana kita sebagai manusia beradaptasi dengan segalanya termasuk pandemi, karena kemampuan adaptasi ini akhirnya menjadi begitu penting saat kita mengalami hal yang tidak pernah diberitahu atau diajarkan sebelumnya. Khususnya lewat Pendidikan yang kita enyam. Karena itu bukannya Pendidikan harus melihat dari hal yang sedang terjadi, bahwa menciptakan generasi yang adaptif adalah sebuah keharusan yang kongkret, melihat kondisi kita saat ini menjadi adaptif menjadi jauh lebih esensial lagi untuk ada dalam Pendidikan.

Membahas menciptakan Pendidikan yang adaptif, kita tidak bisa melihat sebelah mata karena Pendidikan tidak berdiri sendiri. Dalam Pendidikan sendiri ada kurikulum yang digunakan sebagai dasar berjalannya Pendidikan yang terjadi di setiap sekolah. karena itu pada akhirnya memperhatikan kurikulum menjadi penting untuk membuat Pendidikan yang dapat menghasilkan generasi yang bisa lebih adaptif lagi. Tapi sebelum membahas lebih jauh, tujuan menciptakan Pendidikan yang menghasilkan generasi yang adaptif sebenarnya sudah ada dalam UU no. 2 Tahun 1998  tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 37 menjelaskan bahwa "Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan." Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan nasional harus memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, dimana pada saat ini kita dapat asosiasikan dengan kondisi lingkungan di tengah pandemi. 

Tidak hanya undang-undang. John Dawey menjelaskan bahwa kurikulum seharusnya menghasilkan murid-murid yang mampu beradaptasi dengan dunia modern. Harold Rugg juga mengartikan kurikulum sebagai serangkaian pengalaman yang memiliki kemanfaatan maksimum bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuannya agar dapat menyesuaikan dan menghadapi berbagai situasi kehidupan, (Rahkmat, 2011, 7-8). Dua tokoh tersebut setuju, bahwa kurikulum pada akhirnya harus mampu untuk membuat peserta didik menjadi individu yang bisa beradaptasi dengan baik. Dimana adaptasi yang dimaksud adalah dapat beradaptasi saat sudah berada di masyarakat tertentu. Seperti pada abad ke-19 dimana generasi saat itu disiapkan untuk bisa sesuai dengan masyarakat industrialis, lalu pada awal abad 20 disiapkan pada masyarakat global, dan pada saat ini disiapkan untuk bisa sesuai dengan masyarakat berbasis digital dan juga kehidupan di tengah pandemi.

Dengan Pendidikan yang lebih adaptif terhadap kondisi, salah satu tujuan yang juga bisa dicapai adalah apa yang diharapkan oleh salah satu tokoh Pendidikan Paulo Freire. Dia menjelaskan bahwa peran yang harus diemban oleh guru adalah memaparkan tentang situasi eksistensial yang telah dikodefikasi untuk membatu siswa lebih kritis terhadap realitas (Freire, 2001). Dalam pandangan ini kita bisa melihat bahwa harapan Freire untuk mencapai Pendidikan yang membebaskan dibutuhkan sikap kritis dalam diri peserta didik.

Sikap kritis juga mampu diwujudkan lewat gagasan Giroux, dia mengembangkan kajian pedagogi kritis yang memiliki tujuan agar Pendidikan dapat lepas dari jerat kekuasaan berbasis politik, ekonomi maupun lainnya. Kajian ini berfokus dalam membangun nalar kritis peserta didik, agar nalar tersebut dapat terawat dan dapat menjadi senjata perlawanan. (Rahkmat, 2001, 183)

Menciptakan kurikulum yang lebih adaptif berbasis pengembangan sikap kritis pada akhirnya diperlukan, karena kurikulum darurat yang digunakan saat ini sepertinya hanya hadir untuk mengatasi masalah pedagogis, dimana tujuannya agar bentuk pengejaran bisa tetap berjalan walau berbasis online dengan menggunakan media gadget seperti laptop, smartphone, computer, dan lainnya. Walau pada akhirnya sangat disayangkan bahwa masalah yang timbul juga banyak. Dari peserta sampai tenaga pendidik yang gagap teknologi yang menghambat proses pembelajaran, juga belum meratanya akses internet di Indonesia.

Kurikulum yang berfokus pada penciptaan generasi yang lebih adaptif ini juga harus dipikirkan tidak hanya pada kondisi pandemi yang mungkin saja masih lama terjadi. tapi juga pada kondisi pasca pandemi. Tentu saja mungkin kita bisa memprediksi beberapa hal, tapi tidak semuanya. Pada pasca pandemi tentu saja konstruksi nilai di masyarakat bahkan kebiasaan bisa saja berubah drastis. Dari saat ini kita bisa melihat ada kebiasaan yang sedikit demi sedikit tercipta seperti mencuci tangan, menggunakan masker, sampai berkegiatan berbasis online entah itu Pendidikan, komunikasi sampai pekerjaan. Kebiasaan tersebut bisa saja tidak hanya hadir namun juga tertanam. Bourdeu menyebutnya sebagai Habitus. Sebuah kebiasaan yang sudah tertanam di dalam diri manusia. Habitus ini tentu saja harus diperhatikan juga sebagai salah satu pertimbangan kurikulum seperti apa yang harus disusun agar bisa menjamin pengajaran yang diberikan pada generasi muda dapat membuat mereka siap menghadapi lingkungan yang akan mereka datangi saat dewasa.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa pada saat ini dunia bergerak begitu cepat, begitu sangat cepat sampai tertidur saja rasanya dapat membuat kita ketinggalan sesuatu. Dari globalisasi sampai digitalisasi terjadi ditengah pandemi harusnya membuat kita sadar, betapa Pendidikan yang berfokus pada penciptaan generasi yang adaptif juga kritis sangat diperlukan. Pandangan lama bahwa Pendidikan harus berisi pengetahuan kongkret harus sedikit di geser, bahwa kebutuhan yang dibutuhkan saat ini oleh generasi muda adalah alat yang bisa mereka gunakan untuk situasi apa pun. karena itu berfokus pada penyusunan kurikulum yang dalam membuat peserta didik menjadi kritis diperlukan.

Kurikulum darurat yang digunakan saat ini tidak mampu untuk bisa menjangkau hal tersebut. Pendidikan berjalan tidak efektif dan seperti sekedar ada saja agar Pendidikan bisa terus berjalan, dan setiap generasi berikutnya bisa dapat jatah mengenyam Pendidikan. Padahal esensi Pendidikan tidak hanya mewariskan nilai dan norma seperti apa yang di maksud oleh Durkheim. Tapi Pendidikan juga menjadi institusi produksi yang dapat menciptakan generasi baru yang berbeda dari generasi sebelumnya. 

Pendidikan sebagai salah satu harapan manusia agar bisa terus berkembang menjadi eksistensi yang lebih baik sudah seharusnya diperhatikan dengan seksama. Karena Pendidikan begitu esensial bagi umat manusia, pada akhirnya penyusunan kurikulum harus bisa meraba masa depan, karena kita sudah tidak berlomba dengan waktu, tapi dengan peradaban.

Referensi

Freire, P. (2001). Pendidikan Yang Membebaskan. Jakarta: Media Lintas Batas.

George Ritzer, D. J. (2009). Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik. Dalam D. J. George Ritzer, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik (hal. 585). Yogyakarta: KREASI WACANA.

Hidayat, R. (2011). PENGANTAR SOSIOLOGI KURIKULUM. Dalam R. Hidayat, PENGANTAR SOSIOLOGI KURIKULUM (hal. 7-8. 138). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun