Mohon tunggu...
bagja siregar
bagja siregar Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jazz and pop

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Supremasi Hukum: Tukang Sate Hina Presiden dibui, BCA Korupsi Pajak Rp 365 M Bebas

31 Oktober 2014   21:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:01 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14147396401964711112

[caption id="attachment_332355" align="aligncenter" width="640" caption="e-lawenforcement.blogspot.com"][/caption]

Ada yang salah dengan praktik hukum di Indonesia. Tempo hari seluruh rakyat Indonesia menjadi saksi bahwa sistem hukum kita kuat dan tanggap terkait penegakkan hukum. Kasus yang masih hangat adalah kasus penghinaan terhadap presiden yang dilakukan oleh tukang tusuk sate berinisial MA, seorang warga Ciracas berusia 24 tahun. Modus penghinaan terhadap presiden adalah dengan mengunggah foto hasil editan berbau SARA ke Facebook. Atas tindakan tersebut, MA dijerat beberapa pasal berlapis, yaitu pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE dan UU Pornografi. Ancaman hukuman untuk MA mencapai 10 tahun penjara.

Perbuatan tersebut memang tidak bisa dibenarkan, terlepas dari dukungan Netizen yang menyayangkan penahanan MA oleh aparat merefleksikan zaman orde baru.

Tetapi yang menarik disini adalah, hukum sangat tegas apabila menyangkut orang-orang berkuasa atau orang-orang bermodal besar. Sedangkan apabila untuk membela rakyat jelata dan bermodal kecil, hukum seakan-akan enggan berbicara.

Dari contoh kasus diatas, pengakkan hukum atas penghinaan terhadap presiden sudah sangat tepat. Namun apabila kita lebih jeli, apakah hukum benar-benar tidak pandang bulu?

Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan harapan saya terhadap pemerintahan saat ini. Harapan terkait nasib pengusutan kasus pajak BCA.

Kasus korupsi pajak yang melibatkan mantan ketua Dirjen Pajak, Hadi Poernomo dan Bank BCA sudah setengah tahun lebih namun tetap saja kasus ini belum menunjukan perkembangan yang cukup signifikan.

Peran Hadi Poernomo dalam kasus pajak BCA diduga adalah penyalahgunaan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak dengan dengan membuat Surat Keputusan (SK) yang melanggar prosedur terkait permohonan keberatan wajib pajak yang disampaikan oleh pihak Bank BCA. Hadi Poernomo selaku dirjen pajak diduga memanipulasi telaah direktorat PPH mengenai keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan surat keberatan wajib pajak dengan nilai yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 5,7 triliun terkait kredit bermasalah-nya atau non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada 17 Juli 2003.

Setelah ditelaah oleh Direktorat PPH, permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA ditolak, namun oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak mengintruksikan Direktur PPH yang semula menolak menjadi menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak yang dilayangkan pihak BCA sehari sebelum masa jatuh tempo pemberian keputusan final. Oleh putusan Hadi Poernomo tersebut, diyakini BCA telah merugikan negara dengan tidak membayar pajak sebesar Rp 375 miliar.

Oleh tindakan tersebut KPK meyakini adanya tindak penyuapan yang dilakukan BCA kepada Hadi Poernomo.

KPK telah menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo pada kasus dugaan korupsi dalam permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat jadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2002-2004.

Atas dugaan tersebut, Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Kasus pajak BCA dengan kasus penghinaan terhadap presiden memang tidak bisa disamakan karena memang dua hal ini berada dalam dua ranah hukum yang berbeda. Tapi yang saya mau tekankan adalah dua hal ini sama-sama membutuhkan penegakkan hukum seadil-adilnya agar nantinya tidak terulang kasus-kasus yang sama. Dalam penyidikan kasus pajak BCA, hukum dapat dikatakan “keok” karena para penegak hukum berhadapan dengan orang-orang bermodal besar. Seakan-akan orang-orang dengan kekuatan financial yang cukup besar mampu tidak tersentuh hukum betapapun beratnya kasus yang menimpanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun