Mohon tunggu...
Bagis Syarof
Bagis Syarof Mohon Tunggu... -

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kesabaran Sang Istri

7 Desember 2018   01:28 Diperbarui: 7 Desember 2018   01:49 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam Jum'at dikenal sebagai kebiasaan bercengkrama bagi pasangan suami-isri. Pada malam itu perahu berlabuh, suami kerja jauh pulang untuk bersetubuh. Gerutu langit malam Jum'at kliwon menghiasi setiap dinding rumah Pak Eko. Gerimis mengundang dingin. Sungguh, miris keadaan itu bagi bujangan.

Kepul kemenyan menyelundup, merangkak, bahkan menjalar ke setiap timba tempat air nira. Bu Eko dan masyarakat sekitar masih melestarikan budaya leluhur. Wangi kemenyan dipercaya mengundang arwah yang sudah meninggal untuk pulang ke rumahnya saat masih hidup.

***

Kasur kusut menimpa badan istri Pak Eko. Selimut penghangat dari gejolak cinta Rabiah Al-Adawiyah memeluk badan istri Saridin, Pak Eko. Pekat hitam menutup matanya. Kamar dari bambu serasa menjadi gua hantu, dan Bu Eko menjadi si Butanya. Dalam hati yang terus berharap kedatangan suaminya, dia mengkhawatirkan, takut terjadi apa-apa kepada sang malaikat pembawa nikmat.

Bayangan hitam bak genderuwo lewat dipinggir kamar tempat ia berbaring.

Siapa itu, nuraninya bergetar. Dia takut gerandong dalam legenda memang ada, dan mengunjunginya malam itu. Denyut jantung kencang dan semakin kencang, gempa bumi menyusupi pemompa darah dan nafas ketakutan terus menyeruah.

Beberapa menit kemudian, rasa takut kepada legenda gerandong, menyeret tangannya untuk menarik selimut dan bersemedi dalam kegelapan dan ketakutan. Dingin semakin hambar, rasa takut hambar, rasa khawatir tak lagi mengumbar. Seperti ular melingkari kain pelindungnya dari kebekuan salju kutub utara yang sudah meleleh kemudian turun dan menusuk genteng rumahnya. Meski bak tombak, cairan es kutub tidak akan mampu menembus tanah liat bakar yang menutupi gubuk kecilnya karena tidak tajam dan seruncing tombak prajurit Firaun untuk membunuh nabi Musa.

Raga Bu Eko merasakan sesuatu seberat semen gresik yang terbungkus lusuh di toko-toko Jakarta membebani dirinya. Bisikan halus terdengar menelusup gendang telinga mungilnya, "Sayang! Aku datang". Tersentak Bu Eko langsung membuka selimutnya. Ternyata suaminya dengan senyum mekar, bukan genderowu yang kejam dan kekar. Keduanya saling memadu rasa rindu dengan pelukan mesra.

Terenyuh hatinya meski masih dalam pelukan suami, saat laki berkumis tipis tadi mengatakan bahwa ia ingin menikah lagi.

Wanita bukan mahluk lemah, dia adalah pesulap, dan lebih hebat dari lelaki. Apabila sang suami memberi beras, ia menyulapnya menjadi nasi yang mengenyangkan. Apabila prianya menyuguhkan tempe, ia mengubahnya menjadi lauk sebagai pelengkap sesuap nasi. Sperma-pun ia olah dan lahirlah bayi yang menjadi Presiden, Petani, DPR, dan lainnya. Namun, meskipun sehebat itu, sulit untuk merelakan suaminya menikah lagi.

Pak Eko lanjut bercerita tentang syarat-syarat untuk menikahi orang yang ia inginkan. Calon istri keduanya ingin Pak Eko menghafalkan Al-Qur'an 30 juz sebagai maharnya. Meski hatinya agak keberatan, Buk Eko tetap tersenyum demi kebahagiaan suaminya, karena kata yang pernah ia dengar dari guru MA-nya, "surga seorang istri berada dibawah telapak suaminya". Jadi, membuat suaminya bahagia adalah kewajiban baginya.

***

Bendera Indonesia berkibar di pinggiran jalan kota. Mereka menari bersama angin, menyerukan semangat persatuan dalam momen hari pahlawan 10 November 2018. Semangat kebangsaan tidak seirama dengan hati Bu Eko, karena dia harus menanggung beban berat dalam hatinya, meskipun harus ia relakan karena kebahagiaan suami adalah keinginannya.

Setiap pulang kerja, Pak Eko melakukan kebiasaanya menghafal Kitab Suci Islam, lembar demi lembar ia buka. Kegiatan penghafalan untuk mahar peminangan calon istri baru istiqomah dilakukan setiap hari, tiap hari pula Buk Eko dengan sabar menjadi pengoreksi hafalannya. 6 bulan lamanya dia membolak-balik narasi firman Tuhan. Istrinya tetap setia menemani dalam perjuangan menyunting calon istri kedua.

Hasil hafalan Pak Eko direncakan menempuh garis finish pada bulan ke-9. Namun berkat suntikan spirit dari seorang istri yang tabah, Pak Eko menapak garis surat An-Nas pada bulan ke-7.

***

Melodi angin malam melantunkan ayat pada daun pepohonan di sebelah gubuk tua tempat Pak Eko dan istrinya tinggal, bahwa cinta adalah segalanya tidak ada yang lebih agung dari pada cinta. Hati istri Pak Eko masih belum rela untuk diduakan, namun karena cinta dia harus memprioritaskan kebahagiaan yang dicintai dari pada dirinya.

Saat sang istri sedang duduk di atas dipan tanpa kasur, ia merenung tanpa kedipan. Berkaca, dan mengalirlah air dalam kelopak matanya yang ia simpan. Namun, karena suaminya datang menghampirinya, ia segera menghapus dan mengganti raut wajah murung dengan keceriaan.   

Bu Eko tidak bis menghindar karena pri yang ingin selalu ia bahagiakan sudah memperhatikan kemurungannya dari tadi.

Sang suami mengakui masa percobaannya hari itu, bahwa ia hanya ingin meneliti sebetapa sabar istri menghadapi suami yang seakan egois. Pak Eko mengecup kening Bu Eko dengan diringi kata mesra, "perempuan sesabar kamu tidak akan pernah aku duakan, karena kamu tidak ada duanya di dunia ini".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun