Kami dimanjakan oleh Esi, Ustadz Nurdin, dan putra putri beliau. Sejak kami datang suguhan teh hangat di udara Paninjauan yang dingin terasa hangat sampai di kerongkongan terus ke perut.
Setelah membaca dan mengamati ruangan baca, kami pun diajak makan malam, disuguhi sambalado jariang, berbagai buah-buahan. Seperti durian, manggis, pisang, dan lainnya. Â Â
"Kalau di kampung sini, jika ada tahu dan tempe itu tandanya kami punya uang, tapi jika kami tak punya uang maka apa yang ada aja kita masak, seperti ikan, ayam dan sayuran yang tersedia di ladang kami," ujar Esi.
MasyaAllah, nikmatnya hidup di kampung. Suasananya kebalikan kehidupan di kota. Orang tak punya banyak uang justru makan tahu dan tempe. Kami ketawa- ketawa mendengar cerita Esi. Udara segar, air sejuk dan jernih, segala hal tersedia. Uang memang jadi tak menentukan kebutuhan keseharian konsumsi warga di kampung.Â
Semula kami tak percaya semua yang dihidangkan adalah hasil kebun sendiri. Termasuk buah durian, pepaya, timun, manggis, labu. Tapi ketika  melihat-lihat  sekeliling dan Ari (sopir) yang membawa mobil kami tiba-tiba kejatuhan durian, wah fantastis, pengalaman yang sudah lama dicita- citakan tanpa diduga bisa kita alami. Tiga buah durian jatuh. Dua lagi ditemukan Ustad Nurdin, suami Esi, sesaat menjelang kembali ke Padang sekitar pukul 20.30 WIB. Ari  langsung membuka durian jatuh tersebut. Luar biasa enak sekali, tebal, kuning dan legit memang. Pokoknya maknyuss.
Banyak ilmu dari perjalanan seharian kemarin.
Otak bertambah
Perut bertambah
Rasa pun bertambah
Dan buah tangan pun banyak sekali.
Lah kanyang, lah lo mambao