Mohon tunggu...
Bagas Wahyu Nursanto
Bagas Wahyu Nursanto Mohon Tunggu... Lainnya - Media opini pribadi

Pemerhati sosial, hukum, kebijakan publik, hingga HAM.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memahami Tantangan Legislasi 2021: Menyambut Pengesahan Daftar Prolegnas Prioritas 2021

13 Januari 2021   06:57 Diperbarui: 13 Januari 2021   07:15 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat Pada Praktik 2020

Praktik legislasi tahun 2020 sudah berlalu seiring dengan pergantian tahun. Pelaksanaan pembentukan undang-undang (UU) pun telah dilaksanakan diiringi dengan potret praktik penegakannya yang juga masih menyisakan pekerjaan rumah. Setidaknya pekerjaan rumah tersebut tidak lepas dari keterbukaan, partisipasi publik, serta proses praktik legislasi yang berkualitas ditengah pandemi Covid-19. 

Belum lagi rasa kepercayaan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah satu pemegang otoritas pembentuk UU yang justru mengesahkan beberapa UU yang menjadi penolakan publik.

Realita tersebut haruslah dimaknai sebagai evaluasi besar-besaran bukan hanya bagi DPR, Presiden, ataupun DPD sebagai legislator namun juga bagi masyarakat untuk tetap setia mengawal praktik legislasi ditahun 2021 ke depan. Setidaknya potret buruk proses legislasi tahun 2020 masih terjadi. 

Saya menganalisa bahwa tahun 2020 potret keterbukaan, partisipasi publik, hingga respon praktik legislasi apalagi dimasa pandemi Covid-19 masih sangat buruk.

Setidaknya ke depan evaluasi yang dijalankan haruslah terealisasikan dengan baik. Meskipun DPR, Presiden, dan DPD belum melakukan pengambilan keputusan tingkat II terhadap draf Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) 2021 sebagai bahan gambaran legislasi tahun 2021 ke depan, setidaknya masyarakat perlu untuk mengawal dan menyampaikan aspirasi untuk memenuhi kebutuhan UU dalam hidup bermasyarakat. 

Hal ini setidaknya dapat dilihat dari 248 RUU yang menjadi Prolegnas Tahun 2020-2024 untuk dapat dipilah sesuai dengan kebutuhan prioritas dan aspirasi masyarakat. Juga berdasar kebutuhan akan UU yang belum disahkan ditahun 2020 berdasarkan aspirasi masyarakat.

Setidaknya ikhtiar tersebut terejawantahkan melalui analisa tantangan legislasi tahun 2021 ke depan. Ini menjadi penting bukan hanya sebagai pijakan awal membangun proses legislasi yang berkualitas namun juga menjaga semangat demokrasi dalam negara hukum. Terlebih penting bagi masyarakat untuk memahami serta menjadi bekal dalam pengawalan proses legislasi ditahun 2021.

Memahami Tantangan Legislasi Tahun 2021

Berkaca pada praktik legislasi tahun 2020 lalu setidaknya menjadi bekal dalam mengawal dan memaparkan tantangan legislasi di tahun 2021. Tantangan tersebut setidaknya saya kualifikasi bukan hanya pada evaluasi pada tahun 2020 dan sebelumnya namun juga terkait kebutuhan masyarakat. 

Pertama, Proses penyusunan dan penentuan jumlah Rancangan Undang-undang dalam Prolegnas Prioritas tahunan 2021 sebagaimana Pasal 20 ayat (6) UU No. 15 Tahun 2019, menjadi tantangan karena dalam praktik yang telah dilakukan sebelumnya jumlah RUU dalam prolegnas prirotas terkesan utopis untuk direalisasikan.

Misal dapat dilihat dari tahun 2020 dimana jumlah RUU pada Prolegnas Prioritas 2020 berjumlah 50 RUU yang mana jumlah ini sangatlah banyak dan keberhasilannya hanya 6%, artinya hanya ada 3 RUU yang disahkan menjadi UU. 

Hal ini juga terjadi sebelumnya pada tahun 2019 dengan jumlah RUU dalam prolegnas prioritas berjumlah 55 RUU dimana RUU yang disahkan menjadi UU hanya berjumlah 12, tahun 2018 dari 18 RUU Prolegnas prioritas hanya 5 RUU yang disahkan menjadi UU, atau bahkan tahun 2017 dari 52 RUU Prolegnas Prioritas hanya 5 RUU yang disahkan menjadi UU. Ini merupakan catatan buruk yang terus terulang.

Memang sejatinya keberhasilan bukan didasarkan pada kuantitas UU yang berhasil disahkan namun juga pada kualitas isi UU yang disahkan pula. Saya pun sepakat dengan pandangan ini, namun ke depan perlu dikaji secara mendalam. 

Tantangan ini menjadi tantangan serius, bagaimana DPR, Presiden, dan DPD harus bisa memastikan tolak ukur penentuan jumlah RUU dalam Prolegnas prioritas dengan belajar dari pengalaman, berbasis pada efektifitas penyelesaian hingga kebutuhan masyarakat yang berasal dari aspirasi masyarakat yang menyeruak ke permukaan publik.

Kedua, Mengenai keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Tantangan ini bagi saya sangatlah substansial mengingat praktik yang dilakukan oleh DPR periode 2019-2024 belumlah baik. 

Misal pada tahun 2020 maupun 2019 sebagai lembaga perwakilan rakyat justru terkesan mendistorsi keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam penyusunan UU. 

Hal ini dapat dilihat bagaimana penolakan publik terhadap beberapa RUU yang justru disahkan oleh DPR bersama Presiden menjadi UU. Misal yang terjadi ditahun 2019 bagaimana Revisi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak besar-besaran oleh publik justru disahkan menjadi UU No. 19 Tahun 2019. 

Selain itu ditahun 2020 praktik yang sama kembali dilakukan setidaknya beberapa UU yang disahkan sebelumnya mengalami penolakan oleh publik seperti UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengam model Omnibus Law.

Mengenai keterbukaan, permasalahan yang terjadi adalah mengenai akses dokumen terhadap suatu RUU yang masih sulit ditemukan hingga laman/kanal resmi digital penyebarluasan dokumen tidak jelas. Praktik ini terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja dimana draf RUU yang diserahkan Pemerintah kepada DPR tertanggal 13 Februari 2020 masyarakat sulit menemukan Draft RUU yang resmi. Akibatnya adalah terjadi kesimpangsiuran terkait draf RUU mana yang resmi sebab tiap waktu proses pembahasan selalu beruah-ubah.

Perubahan Draf RUU ini terus berlanjut hingga proses pengesahan, misal draf versi paripurna tertanggal 5 Oktober 2020 berisi 905 halaman kemudian versi penyerahan kepada Presiden tertanggal 14 Oktober 2020 berisi 812 halaman, kedua draf perubahan inipun tidak dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat serta tidak ada legitimasi dari pemerintah atau DPR secara resmi draf yang benar sehingga terjadi keresahan besar-besaran didalam masyarakat.

Ketidaktersediaan dokumen dalam penyusunan RUU juga menjadi tantangan kedepan agar tidak terjadi hal demikian. Ini menjadi tantangan kedepan bukan hanya bagi masyarakat namun juga bagi Legislator untuk konsekuen atas komitmen proses legislasi yang terbuka.

Ketiga, mengenai fenomena proses legislasi yang cepat dengan jenis serupa Fast-Track Legislation. Proses ini mengedepankan proses legislasi yang cepat dan memang telah diterapkan di beberapa negara, misal yang diterapkan di negara Argentina (Pasal 99 ayat (3) Konstitusi Argentina), Selandia Baru (House Standing Order 95A Tahun 1903), Kolombia (Pasal 163 Konstitusi Kolombia), atau Prancis (Pasal 49 Konstitusi Prancis). Namun perlu dipahami bahwa dalam aturan hukum di Indonesia tidak ada aturan yang mengatur mengenai ini. Menariknya praktik legislasi yang terjadi justru menggambarkan proses legislasi serupa jenis ini namun berbeda terjadi.

Perlu dipahami kembali model Fast-Track Legislation di Indonesia bukanlah dipahami sebagai mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang termuat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. 

Bagi saya Indonesia bukan menerapkan Fast-Track Legislation selain belum ada aturan hukum, juga karena kehendak politik legislator yang mengedepankan proses legislasi yang terburu-buru, cepat, bahkan terkesan menutup partisipasi publik. 

Beberapa diantaranya seperti proses pembahasan RUU Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, RUU Perubahan UU No. 12 Tahun 2011, RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, RUU Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK, hingga yang terbaru RUU tentang Cipta Kerja dengam model Omnibus Law. 

Secara nyata misal yang terjadi pada RUU Cipta Kerja dimana rapat pengambilan keputusan tingkat I saja dilakukan diluar jam kerja dan hari kerja (hari sabtu malam tertanggal 3 Oktober 2020). Dua hari berselang dilakukan pembahasan tingkat II serta persetujuan bersama RUU tersebut. Padahal isi RUU tersebut berisi 15 bab yang sangat banyak ketentuan didalamnya.

Saya juga menyoroti bagaimana celah praktik legislasi yang cepat terjadi melalui Perppu. Misal pada Perppu No.2 Tahun 2020 mengenai penentuan waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), dimana proses pengesahannya mengabaikan aspirasi publik dengan tetap disahkannya dan dilaksanakannya Pilkada ditengah pandemi.

Proses legislasi yang cepat, terburu-buru, hingga menutup ruang partisipasi publik menggambarkan bahayanya otoritatif kekuasaan dalam proses legislasi sehingga dapat membuka peluang lahirnya tirani legislasi. Ini menjadi tantangan serius kedepan bagaimana proses legislasi di Indonesia harus mengedepankan kehendak politik kerakyatan yang murni dan bukan kehendak otoritas kekuasaan yang ada.

Keempat, kehendak politik legislator dan ruang konflik kepentingan dalam proses legislasi. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam lembaga legislatif di Indonesia membuka konflik kepentingan yang mempengaruhi kehendak politik legislator. Ini menjadi tantangan dalam proses legislasi 2021 untuk mengedepankan kehendak murni rakyat di samping kepentingan kelompok dalam proses legislasi.

Kelima, masih mewabahnya pandemi Covid-19 menjadi tantangan yang harus dipersiapkan oleh legislator. Bagaimana proses legislasi di parlemen harus menggunakan metode yang aksesibel bagi masyarakat di tengah pandemi.

Memahami tantangan legislasi pada tahun 2021 perlu dilakukan untuk memastikan potret buruk yang sudah terjadi ditahun-tahun sebelumnya tidak terjadi. Saya berpandangan ditahun 2021 perlu dilakukan proses legislasi yang terbuka atau menggunakan sistem "open parliament system" dimana proses legislasi yang ada dilakukan dengan terbuka dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang didukung dengan sistem teknologi informasi yang menunjang kebutuhan tersebut.

Hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik yang tergerus oleh praktik legislasi yang tertutup, cepat/terburu-buru, mendistorsi partisipasi publik, dan menjadi polemik di tengah masyarakat. Lebih jauh, ini penting dilakukan untuk memastikan ruang partisipasi publik tidak tergantikan oleh otoritatif kekuasaan yang dapat menciptakan tirani legislasi ditahun 2021.

Bagas Wahyu Nursanto

Pemerhati Hukum, Politik, terlebih HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun