Kendati game online banyak yang sudah memiliki legalitas beredar di Indonesia,ada satu ranah dimana itu tidak bisa dijamah oleh pemerintah,yaitu aktivitas yang terjadi di dalam game,pemerintah dapat memberi ketentuan yang ketat untuk aktivitas dalam game,namun sulit sekali untuk melakukan tindakan terhadap para pelanggarnya.Dalam hal ini,hanya development yang mampu merespons pelanggaran itu.
      Sebagai contoh adalah game online yang sedang masif di Indonesia,yaitu Mobile Legends yang menurut banyak sumber,menjadi game paling banyak penggunanya sekaligus paling tidak ramah di Indonesia,(Dilansir dari Eraspace.com dan Gamebrott.com)bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa game besutan montoon ini,merupakan game yang memiliki komunitas yang toxic.
Berbagai latar belakang seperti miss-komunikasi,kekecewaan terhadap pemain lain,hingga dark system yang terjadi menjadikan pertandingan dalam game seringkali dipenuhi chat atau pesan yang diskriminatif,bahkan sampai melampaui batas HAM.
Cyberbullying dan Toxic Behavior baik verbal atau non-verbal kerap kali bermunculan dalam game ini,yang pada dasarnya hal ini sudah masuk ke ranah tindak pidana sesuai dengan Pasal 315 KUHP tentang penghinaan dan pencemaran nama,dengan ancaman sembilan bulan penjara atau denda 450.000.Toxic behavior verbal dalam game Mobile Legends memiliki banyak ragam dan yang paling buruk adalah ketika sudah menyangkut sebuah identitas atau kepercayaan.
Melalui fakta empiris,toxic ini sering kali dengan ragam diksi,seperti:Allah Anj*ng,YSS B*bi (yang dimaksud adalah Yesus Kristus),Jawa T*lol,Anak H*ram,dan diksi lain yang semakna.
Mirisnya,Diksi ini mereka lontarkan dengan tanpa mengetahui status lawan bicara mereka. Bullying /cyberbullying sudah  termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia(Lucyana,2019),dan perkara ini sudah diluar batas kewajaran bahkan masuk dalam kategori hukum pidana berdasarkan KUHP Pasal 156a perihal penghinaan terhadap sebuah keyakinan di Indonesia.
Punishment dari developer
      Pelanggaran dan chaos yang terjadi dalam game sangat sulit diidentifikasi oleh pemerintah,sehingga jarang sekali para pelaku pelanggaran HAM dalam game terjerat dan dijaring oleh pihak berwenang.Maka dalam hal ini,hanya developer game yang mampu memberikan punishment kepada pelaku pelanggaran.
Bentuknya beragam sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat,seperti:pengurangan credit score (standart "adab" dalam game),pembekuan akun,dan penghapusan akun.Tentunya punishment yang diberikan pihak developer tidak setara dengan kejahatan yang dilakukan pelaku mengingat developer tidak memiliki kewenangan dalam memidanakan pelaku.Dan punishmentnya hanya sebatas memberikan efek jera yang tergolongan ringan dan tidak solutif.
Refleksi paradoksal game
      Pada dasarnya game adalah sarana untuk mengisi waktu luang dan melepas penat setelah seharian beraktifitas,sebuah hiburan yang praktis dan mudah yang bisa diakses kapan saja dan dimana saja.Namun,ekpsktasi itu terkadang tidak sesuai dengan realita di dalam game,dengan berbagai latarbelakang terkadang game justru jauh dari apa yang menjadi harapan atau tujuan utama,relaksasi dan hiburan malah berujung sebuah konfrontasi verbal dan pernghinaan yang menguras mental.