Polarisasi Ormek dan Anti-Ormek: Dinamika Politik Identitas di Kalangan Mahasiswa
Dalam lanskap politik kampus, fenomena polarisasi kian terlihat jelas antara kelompok Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek) dan kelompok Anti-Ormek. Polarisasi ini lahir dari perbedaan ideologi, nilai, serta pandangan terhadap kebijakan tertentu, yang mencerminkan kompleksitas politik identitas di kalangan mahasiswa.
Mengapa Manusia Cenderung Berkelompok?
Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok. Kebutuhan akan keamanan, kerjasama, dan pengakuan identitas mendorong pembentukan kelompok dengan nilai dan tujuan tertentu. Di kalangan mahasiswa, kelompok Ormek hadir sebagai organisasi berbasis ideologi yang berperan dalam menggerakkan diskusi, aksi, dan pengambilan keputusan sesuai prinsip-prinsip yang mereka anut.
Namun, keberadaan Ormek juga memicu munculnya kelompok Anti-Ormek. Secara etimologis, istilah 'anti' selalu merujuk pada sesuatu yang sudah ada terlebih dahulu. Kelompok ini hadir sebagai antitesis dari Ormek dengan sentimen politik tertentu, terutama terkait antipati terhadap praktik politik identitas yang dianggap ekstrem.
A-Ormek: Kelompok Netral di Tengah Polarisasi
Di antara Ormek dan Anti-Ormek, terdapat pula kelompok yang disebut A-Ormek. Mereka adalah mahasiswa yang memilih sikap netral, tidak terafiliasi dengan ideologi tertentu dalam berpikir atau bertindak. A-Ormek berfokus pada gagasan dan konsep tanpa melibatkan faktor identitas sebagai pijakan utama.
Politik Identitas dan Efektivitasnya
Menurut Francis Fukuyama (2018), politik identitas adalah praktik politik yang menggunakan identitas seperti ras, agama, dan latar belakang sosial sebagai alat mobilisasi massa. Politik identitas dianggap lebih efektif dibandingkan praktik politik lainnya seperti politik uang karena mampu memanfaatkan aspek emosional dan kebanggaan kolektif suatu kelompok.Â
Dalam konteks kampus, politik identitas ini sering menjadi alat bagi kelompok Ormek untuk memperkuat posisi mereka. Namun, jika dilakukan secara ekstrem, praktik ini dapat menimbulkan polarisasi dan fanatisme, yang justru menghambat terciptanya dialog sehat antar kelompok.