Pemenuhan Hak-hak Narapidana Korban Salah Tangkap dari segi Hak Asasi Manusia Â
Seseorang yang telah dirugikan karena menjadi salah satu korban salah tangkap yang dilakukan oleh oknum aparatur penegak hukum, seperti halnya pada kasus 3 pengamen bernama David, Kemal, dan Sri mulyati wajib mendapatkan hak untuk melakukan rehabilitasi serta kompensasi atas apa yang telah diderita. Jika melihat penjelasan dari pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 Â tentang kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa yang dimaksud dengan rehabilitasi yakni sebagai pemulihan hak seseorang mengenai kemampuannya maupun kedudukannya secara semula oleh pengadilan.[12]
Proses pertanggungjawaban negara terhadap korban salah tangkap ini tidak hanya sampai pada rehabilitasi tetapi juga harus memberikan ganti rugi, oleh karena itu ganti rugi menjadi opsi paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka ketika mereka keluar dari penjara, hal ini bertujuan untuk memudahkan para korban salah tangkap untuk memiliki modal atau bekal hidup di kemudian hari. Dengan demikian hak-hak tersebut kembali kepada diri mereka dan Negara telah mewujudkan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta kehidupan korban dapat kembali berjalan seperti semula.[13]
 KesimpulanÂ
Dalam penerapan kebijakan rehabilitasi dan kompensasi terhadap narapidana korban salah tangkap, undang-undang telah mengaturnya yang terdapat mulai dari Pasal 95 hingga Pasal 97 KUHAP yang diatur lebih lanjut pada PP RI No. 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah pada PP RI No. 92 Tahun 2015. Namun dalam praktiknya, Negara masih belum merealisasikannya dengan maksimal. Sehingga para narapidana korban salah tangkap belum mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh. Padahal peraturan perundang-undangan tersebut sudah bagus dan jelas mencerminkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang dibuat sebagai bentuk tanggung jawab negara atas kegagalan hukum yang disebabkan oleh kelalaian oknum penegak hukum.
Aturan mengenai kompensasi di Indonesia sudah ada yang tertera dengan jelas pada Pasal 95 KUHAP dan PP RI No. 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah pada PP RI No. 92 Tahun 2015. Namun demikian, Indonesia dapat mencontoh Negara Belanda dalam hal keterbukaan data mengenai kasus narapidana korban salah tangkap dan evaluasi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, serta mengenai aturan jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi yang ada di negara tersebut. Kemudian dalam hal proses pencairan dana kompensasi, Indonesia dapat mencontoh Negara Jepang yang memberikan dana kompensasi secara cepat, tunai, dan langsung kepada para korban salah tangkap. Karena dalam proses pencairan dana, Indonesia masih kurang praktis dan memerlukan waktu yang lama, maka pemberian dana kompensasi harus diberikan secara cepat, tunai, dan langsung kepada para korban. Sehingga diharapakan hak-hak narapidana korban salah tangkap dapat terpenuhi kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H