Kebijakan Ganti Kerugian atau Kompensasi
Jika melihat dalam penjelasan pasal 1 angka 22 KUHAP secara eksplisit menegaskan bahwa ganti kerugian merupakan hak seseorang dalam memperoleh pemenuhan atas tuntutan berbentuk imbalan, mulai dari uang ataupun barang yang mana hal itu ditujukan karna dia telah ditangkap, ditahan, dituntut bahkan ditahan tanpa alasan yang jelas. Sehingga negara harus bisa memaknai arti ganti kerugian ini sebagai dasar dari kompensasi yang akan diberikan kepada narapidana korban salah tangkap. Andi Hamzah dalam penjelasannya menegaskan bahwa pada pasal 95 dan 97 terdapat alasan bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi. Dari narasi diatas dapat kita pahami bahwa alasan yang dapat digunakan yakni mengarah kepada mereka yang di tuduh tanpa alasan yang jelas serta salah dalam menerapkan peraturan perundang-undangan.
 Adami Chazawi menjelaskan bahwasanya dari segi korban, kesalahan proses penegakan hukum pidana yang menimbulkan kerugian yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang menegaskan ada tiga hal yang dapat menuntut ganti rugi yakni mulai dari tersangka, terdakwa sampai terpidana ketiga hal ini akan diberikan ganti rugi apabila mengalami proses penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur undang-undang yang ada.  Oleh karena itu sejalan dengan makna ganti rugi, negara telah memberikan ketentuan khusus dalam memenuhi hak-hak korban salah tangkap seperti yang diatur dalam pasal 9 PP RI No. 27 Tahun 1983 Mengenai besaran jumlah ganti kerugian atau kompensasi yang diberikan oleh Negara kepada narapidana korban salah tangkap, diatur di dalam Pasal 9 PP RI No. 27 Tahun 1983, yakni Berdasarkan alasan yang tercantum dalam Pasal 77 huruf b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, jumlah ganti rugi minimum adalah Rp 5000,- (lima ribu rupiah) dan maksimal Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Sedangkan pada proses penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, ganti rugi maksimal berjumlah Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).[7]
Â
Konsep Hak Asasi ManusiaÂ
Berbicara mengenai hak asasi manusia yang mana diberikan langsung oleh tuhan sebagai suatu anugerah secara jelas bahwa itu tidak bisa diambil oleh siapa pun dan wajib untuk dipertahankan, bahkan tokoh ternama seperti john locke juga mendukung hak asasi manusia bersifat kodrat atau mutlak. Oleh karenanya kekuasaan negara manapun yang ada di dunia ini tidak bisa serta merta mencabutnya.[8] Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hak Asasi Manusia diatur pada Pasal 28A sampai 28J. Kemudian diatur lebih lanjut pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara garis besar dalam undang-undang tersebut, pengaturan mengenai HAM dan kebebasan dasar manusia terdapat pada Pasal 9 hingga Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang sejak ia dalam kandungan hingga meninggal dunia yang bersifat mutlak, yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut dijamin oleh UUD 1945, yang dimana dalam pelaksanaannya harus diiringi dengan kewajiban dan tanggung jawab.[9] Apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 22 dan 23 KUHAP, dimana rehabilitasi dan kompensasi merupakan hak seseorang (dalam hal ini narapidana korban salah tangkap) yang harus dipenuhi oleh Negara sebagai bentuk tanggung jawab Negara untuk mengembalikan atau memulihkan hak asasi mereka, khususnya hak untuk memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan.[10]
Â
Pemberian Rehabilitasi dan Kompensasi terhadap Narapidana Korban Salah Tangkap Secara Ideal yang Mencerminkan Hak Asasi ManusiaÂ
Prosedur Pemberian KebijakanÂ
Dalam rangka mengembalikan hak asasi narapidana korban salah tangkap yang telah dirampas selama proses pemidanaan, maka Negara mengeluarkan kebijakan rehabilitasi dan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab Negara kepada narapidana korban salah tangkap. Amar pemberian rehabilitasi harus dicantumkan pada putusan yang memutus bahwasanya orang tersebut bebas dari segala tuntutannya serta harus diumumkan pada papan pengadilan yang mengadili perkara tersebut, hal ini sesuai dengan Pasal 97 KUHAP dan Pasal 12 sampai dengan Pasal 15 PP RI No. 27 Tahun 1983 yang mengatur mengenai kebijakan rehabilitasi. Namun apabila tidak dicantumkan tentang rehabilitasi tersebut, maka narapidana korban salah tangkap dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya untuk memberikan rehabilitasi yang dituangkan dalam bentuk Penetapan.
Selanjutnya mengenai pemberian kebijakan kompensasi, hal ini telah diatur pada Pasal 95 KUHAP dan Pasal 7 hingga Pasal 11 PP RI No. 27 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah menjadi PP RI No. 92 Tahun 2015. Kemudian sebagaimana dalam Pasal 11 Ayat (2) PP RI No. 92 Tahun 2015, pembayaran kompensasi dilakukan oleh Menteri Keuangan yang dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti rugi diterima olehnya dan tata cara pembayaran tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian, juga terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 108/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan RI No. 11/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun 2018. Merujuk pada Bagian 1 Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 132/PMK.02/2019, Menteri Keuangan telah menyediakan dana untuk kompensasi yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.[11]