Bayangkan, berapa banyak gula yang terkadung di dalamnya. Sedangkan, menurut rekomendasi WHO, asupan gula harian yang dianjurkan yaitu 50 gram per hari. Sedangkan, dari minuman boba milk tea gula aren misalnya, itu mungkin sudah melewati ambang batasnya.
Lalu dari mana sumber gulanya? Ada di gula arennya dan menjadi bahan campuran di bobanya. Jadi, kemana kesadaran kita saat itu? Belum muncul, karena mendadak hampir sebagian dari kita berubah menjadi seseorang yang sweet tooth (senang sesuatu yang manis).
Kesadaran ini baru muncul sejak pandemi Covid-19 kemarin, ketika banyak tenaga kesehatan menyatakan bahwa "sahabat" dari Covid-19 adalah gula. Lalu muncul segmen pasar baru, akibat dari kesadaran itu, bahwa mereka membutuhkan sumber makanan yang rendah gula.Â
Secara tidak langsung, karena kesadaran itu, kini menghasilkan individu yang "fobia" dengan makanan atau minuman yang mengandung tinggi gula. Bahkan, sekarang konsumen menjadi lebih sadar untuk melihat fakta nutrisi, namun yang menjadi incarannya adalah "kadar gula".
Jadi, gula ini sudah menjadi fokus utama konsumen untuk menilai apakah produk itu sehat atau tidak. Bahkan ada juga perdebatan mengenai konsumsi buah dan memilih buah yang tinggi gula atau tidak. Padahal, buah itu sendiri, manisnya sudah alami dan berbeda dari gula pasir karena gula di buah itu disebut fruktosa.
Contoh buah yang memiliki kandungan gula yang tinggi, yaitu mangga, anggur, ceri, apel, pir, dan pisang. Saya menemukan bahwa memang betul ada segmen konsumen buah yang menghindari buah-buah itu hanya karena alasan tinggi gula. Mungkin, kalau memang ada pantangan untuk hal medis, saya memakluminya, tetapi kalau tidak? Itu bisa jadi sebuah fenomena fobia makanan tinggi gula.
Pembahasan Utama Saya
Sebetulnya, saya tidak begitu menggubris segmen konsumen yang fobia dengan gula tinggi ini karena sisi positifnya, mereka menjadi lebih memperhatikan konsumsi gula hariannya. Akan tetapi, saya merasa terganggu ketika mereka mempengaruhi orang lain hanya karena fobia yang mereka miliki.
Fobia ini bisa menyebabkan dalam kesesatan berpikir dan menjeneralisir bahwa "makanan yang tinggi gula itu tidak sehat bahkan untuk buah". Saya tergelitik ketika ada orang yang memiliki konsiderasi untuk tidak memakan buah semangka hanya karena "tinggi gula".
Perkataan itu membuat saya tergelitik dan merasa heran "kok bisa seperti itu?". Lalu, apa yang harus kita perbuat? Menurut saya, kita cukup berpatok pada rekomendasi harian konsumsi gula yang diberikan oleh badan kesehatan dunia (WHO), yaitu maksimal 50 gram per hari. Selain itu, dengan tidak makan secara berlebihan juga dapat menjaga kesehatan tubuh kita.Â
Kalau saya ditanya, berapa kadar yang baik untuk karbohidrat, protein, lemak hariannya? Jawabannya tergantung kebutuhan harian masing-masing dari kita. Misal, pekerjaan saya hanya duduk dikantor, maka saya mengurangi konsumsi sumber karbohidrat dan lemak, tetapi memperbanyak protein dan serat supaya kenyang lebih lama lalu asupan kalori saya dapat disesuaikan dengan pekerjaan saya. Kenapa saya harus memikirkan seperti itu?Â
Karena kalori yang terbakar selama aktivitas saya tidak sebanyak orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar sehingga memerlukan banyak kalori. Makanya sering kita mendengar "porsi kuli" itu karena memang mereka membutuhkan tenaga lebih untuk menunjang pekerjaan mereka.