Tujuan dari seorang food reviewer tentunya untuk membantu pemilik usaha makanan dan minuman dapat berkembang lebih baik dengan memasarkan dan mengulas hidangannya. Kemudian, kalau kita mengulas secara diam-diam, memuaskan hasrat arogan untuk berkomentar, dan kemudian tiba-tiba ditayangkan untuk mempermalukan tempat usaha itu, apakah itu beretika? Apakah tujuan mulia itu bisa terwujud?
Ibarat tamu yang datang ke rumah kita, kemudian rumah kita sedang berantakan dan di halaman depan ada tikus yang lewat, dan tiba-tiba tamu kita mengumbarkan ke tetangga. Sikap itu sungguh memalukan dan tidak sopan. Berbeda halnya jika adanya kerjasama antara kedua pihak, maka perlu ada pembahasan dalam kesepakatan bersama. Bahkan, bisa jadi ada pemilik usaha yang ingin secara gratis memberikan produknya kepada kita untuk diulas secara jujur, akan lebih menyenangkan lagi, namun pasti ada persetujuan atau batasan tertentu.
Kesimpulannya
Etika itu tidak selalu tertulis dan seharusnya sudah dibangun dari kesadaran diri sendiri. Perbuat lah apa yang baik, seperti kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain. Menjadi seorang food reviewer itu perlu memiliki etika, karena kita bisa menjadi "jurnalis makanan amatir" yang membantu perkembangan bisnis orang lain. Sebab, apa yang kita tabur itu yang kita tuai, pupuk yang baik akan menghasilkan buah yang baik.
Terima kasih sudah membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H