Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Hal yang Remeh

22 Januari 2017   19:32 Diperbarui: 22 Januari 2017   19:44 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Turiver.com

 | Malu |

Saya berpikir banyak orang, termasuk saya, itu malu dengan hal yang kita anggap remeh. Saya akan memandang sebelah mata kepada orang yang melakukan kegiatan ‘kecil’. Sering sekali saya berbisik dalam hati sambil mencela mereka. Hal ini terjadi setiap hari. Saya sadar bahwa pikiran ini adalah pikiran yang tidak seharusnya. 

Orangtua tidak mengajar hal seperti ini. Saya pun bertanya kepada diri sendiri, mengapa dan bagaimana proses tiba-tiba muncul pikiran seperti memandang sebelah mata ini, ke alam bawah sadar saya. Saya menyimpulkan, sesungguhnya, banyak hal yang sepatutnya dikemas dengan baik, dari sebuah momen memalukan sekalipun. Setidaknya menjadi bahan untuk semakin menumbuhkan rasa bersyukur.

| Tukang Sampah |

Setiap pagi, senin hingga sabtu, ia selalu datang. Datang dengan kendaraan khusus nan bersuara unik, membangunkan saya dari mimpi yang kadang indah, kadang terlupakan. Plastik sampah yang sudah digantung di dekat rumah masing-masing, diambil dan diurus ke tempat seharusnya. Setiap saya mendengar suara knalpot kendaraan khususnya, yang selalu kusebut gerobak eletrik, saya pasti senyum-senyum sendiri. Saya membayangkan apakah sanggup menjadi tukang sampah sehari saja.

Apakah sanggup saya tidak membawa perasaan malu selagi menjalankan kegiatan tersebut? Apakah saya sanggup dilihat teman-teman bahwa kegiatan yang lakukan adalah mengambil sampah? Apakah saya siap dicela orang lain? Saya juga menyadari bahwa Kang Pah, begitu saya menyebutnya, tidak mempunyai pilihan yang lain selain melakukan kegiatan tersebut guna mendapatkan penghasilan. 

Selama belum ada UU yang menyatakan bahwa menjadi tukang sampah adalah kegiatan kriminal, mereka tidak akan berhenti membersihkan barang yang kita anggap tidak berguna. Tidak setiap pagi sih, saya berani berbangga karena hanya saya menyapa Kang Pah di komplek perumahan ini. Saya merasa beruntung karena berhasil merasakan impactdari hadirnya Kang Pah. Terima kasih telah membuat lingkungan ini bersih, dari saya yang selalu rajin membuang sampah tidak pada tempatnya. Terima kasih telah membuat slogan, “kebersihan adalah sebagian dari iman” tetap eksis, Kang Pah.

| Bungkus Permen |

Beberapa hari yang lalu, saya pergi ke bank guna melunaskan tunggakan PBB yang sudah sangat lama dicuekin. Selagi menunggu Ibu telleryang manis menyelesaikan pekerjaanya, saya mengambil permen yang disediakan. Selagi melahap permen, saya tidak sengaja melihat seorang bapak-bapak yang setelah melahap permennya, bungkusnya di kantongin. Saya senyum-senyum sendiri “masih ada orang kayak gini”, bisik saya dalam hati. Saya langsung teringat dengan seorang guru olahraga pada sewaktu SMA, yang menceritakan betapa bangganya ia saat mendengar dari istrinya yang menemukan banyak bungkus permen di kantong celana anaknya. 

Ia selalu mengajarkan kepada putrinya yang masih termasuk salah satu murid SD, untuk selalu membuang bungkus permen di kantong celana sendiri apabila tidak ada tempat sampah terdekat. Pada hari itu, saya mulai belajar untuk setidaknya tidak perlu berlebihan berkoar-koar kepada orang lain untuk menjaga kebersihan. Tidak perlu berteriak-teriak slogan “kebersihan adalah sebagian dari iman” ke orang-orang. Cukup mulai dari hidup saya sendiri.

| Orang tua |

Satu hal yang hampir semua orang tua tidak bisa lepaskan adalah keleletan mereka dalam mengerjakan sesuatu. Saya selalu mengerutkan dahi saat mendapati mereka melakukan semuanya serba lambat. Saya selalu berpikir, tidak ada kata gesit dalam kamus mereka. Tetapi ada kabar baiknya, tingkat akurasi mereka tinggi sekali. Beda sekali dengan saya yang selalu mengerjakan semuanya dengan cepat tetapi selalu mengulangnya beberapa kali karena kurang tepat. Mungkin ini salah satu alasan mengapa orang tua selalu dapat menemukan sesuatu yang saya sulit menemukannya. Contohnya saja saat saya mencari dasi saat saya masih duduk di bangku SMA. 

Dasi tersebut saya cari sekitar 30 menit sambil mondar-mandir. Mama saya langsung mengatakan, “ini apa?” sambil menunjukan dasi. Jika diibaratkan pertandingan tinju, ini uppercut telak yang berhasilkan dilancarkan musuh saya. Saya langsung K.O. Cepat banget dapat dasinya?!?! Jika kita perhatikan, kebanyakan orang tua itu telitinya kebangetan, melebihi tingkat ketelitian CIA. Mereka lambat, tapi tepat. Saya cepat, tapi tidak selesai-selesai.        

Pada akhirnya saya belajar bahwa yang membuat saya malu, sepatutnya saya kemas lebih baik agar ada pembelajaran. Ini hanya masalah bagaimana saya melihat. Seperti contoh bungkus permen, saya tidak bisa mengubah dunia mereka yang sering membuang sampah sembarangan, tapi saya pasti bisa mengubah dunia saya, dunia yang saya cita-citakan bebas dari sampah. Dunia yang burung pun tidak memakan sampah plastik.

Sekitar jam 7 pagi, saat sedang menunggu lampu merah sedang berakhir, saya melihat bencong berpakaian merah mawar sedang berusaha menghibur orang-orang, dengan harapan diberikan uang. Sekitar jam 6 sore, saya mendapati lagi bencong yang sama, tetapi lokasi yang bedanya jauh dari tadi pagi. Saya pikir, “rajin kebangetan ya keliling memakai pakaian perempuan sambil nyanyi-nyanyi”. Menjadi bencong memang memalukan. Tapi lihat bagaimana si baju merah ini berkeliling kota, sedangkan saya mandi saja kadang-kadang malas.

Menjadi bencong memang memalukan. Maka dari itu,saya tidak mau rajin kalah sama bencong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun