Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Hal yang Remeh

22 Januari 2017   19:32 Diperbarui: 22 Januari 2017   19:44 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Turiver.com

Satu hal yang hampir semua orang tua tidak bisa lepaskan adalah keleletan mereka dalam mengerjakan sesuatu. Saya selalu mengerutkan dahi saat mendapati mereka melakukan semuanya serba lambat. Saya selalu berpikir, tidak ada kata gesit dalam kamus mereka. Tetapi ada kabar baiknya, tingkat akurasi mereka tinggi sekali. Beda sekali dengan saya yang selalu mengerjakan semuanya dengan cepat tetapi selalu mengulangnya beberapa kali karena kurang tepat. Mungkin ini salah satu alasan mengapa orang tua selalu dapat menemukan sesuatu yang saya sulit menemukannya. Contohnya saja saat saya mencari dasi saat saya masih duduk di bangku SMA. 

Dasi tersebut saya cari sekitar 30 menit sambil mondar-mandir. Mama saya langsung mengatakan, “ini apa?” sambil menunjukan dasi. Jika diibaratkan pertandingan tinju, ini uppercut telak yang berhasilkan dilancarkan musuh saya. Saya langsung K.O. Cepat banget dapat dasinya?!?! Jika kita perhatikan, kebanyakan orang tua itu telitinya kebangetan, melebihi tingkat ketelitian CIA. Mereka lambat, tapi tepat. Saya cepat, tapi tidak selesai-selesai.        

Pada akhirnya saya belajar bahwa yang membuat saya malu, sepatutnya saya kemas lebih baik agar ada pembelajaran. Ini hanya masalah bagaimana saya melihat. Seperti contoh bungkus permen, saya tidak bisa mengubah dunia mereka yang sering membuang sampah sembarangan, tapi saya pasti bisa mengubah dunia saya, dunia yang saya cita-citakan bebas dari sampah. Dunia yang burung pun tidak memakan sampah plastik.

Sekitar jam 7 pagi, saat sedang menunggu lampu merah sedang berakhir, saya melihat bencong berpakaian merah mawar sedang berusaha menghibur orang-orang, dengan harapan diberikan uang. Sekitar jam 6 sore, saya mendapati lagi bencong yang sama, tetapi lokasi yang bedanya jauh dari tadi pagi. Saya pikir, “rajin kebangetan ya keliling memakai pakaian perempuan sambil nyanyi-nyanyi”. Menjadi bencong memang memalukan. Tapi lihat bagaimana si baju merah ini berkeliling kota, sedangkan saya mandi saja kadang-kadang malas.

Menjadi bencong memang memalukan. Maka dari itu,saya tidak mau rajin kalah sama bencong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun