Baru-baru ini, Muhammad Rofiqi, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra, menyampaikan pernyataan yang cenderung merendahkan profesi apoteker. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Kapolrestabes Semarang (3/12), ia menyebut, "Apoteker-apoteker di pinggir jalan itu yang jual minuman di mix segala macam itu, di seputaran Stadion Diponegoro segala macamnya itu harus ditertibkan Pak Kapolrestabes. Karena biasanya biang kerok-nya itu dari sana. Biang keroknya nggak jauh-jauh dari itu." Pernyataan ini mengacu pada minuman keras (miras) jenis congyang atau ciu oplosan yang biasa dijual di pinggir jalan.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam rapat yang membahas penanganan kasus tewasnya seorang pelajar SMK di Semarang setelah ditembak oleh anggota kepolisian. Insiden ini terjadi pada hari minggu, 24 November 2024 jam 01.00 dini hari, di depan Perumahan Paramount, Semarang Barat. Kapolrestabes Semarang dipanggil oleh Komisi III DPR RI untuk memberikan penjelasan terkait insiden tersebut, karena kasus ini memicu sorotan luas terhadap tindakan aparat kepolisian dan pengendalian keamanan di wilayah Semarang.
Namun, alih-alih fokus pada pembahasan kasus utama, beberapa pernyataan dalam rapat justru mengarah pada isu lain, termasuk tudingan yang tidak berdasar terhadap profesi apoteker. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah benar profesi apoteker memungkinkan mereka menjual miras, apalagi di pinggir jalan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telaah regulasi terkait penjualan minuman beralkohol dan peran apoteker dalam sistem pelayanan kefarmasian.
Regulasi Minuman Keras
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), minuman keras adalah minuman beralkohol yang memabukkan, seperti bir, anggur, arak, dan tuak. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, penjualan minuman beralkohol hanya diperbolehkan di tempat tertentu, seperti hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan. Apotek tidak termasuk dalam daftar tempat yang diizinkan menjual minuman beralkohol.
Lebih jauh, Pasal 204 KUHP dengan tegas melarang produksi, peredaran, dan konsumsi minuman beralkohol oplosan. Produk semacam ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat karena sering kali mengandung bahan beracun yang mematikan. Dengan demikian, sangat tidak masuk akal untuk mengaitkan apoteker---yang tugas utamanya melayani kesehatan masyarakat---dengan aktivitas ilegal semacam itu.
Peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2024, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat apoteker melakukan praktik kefarmasian. Kegiatan ini meliputi pelayanan jual beli sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai demi meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sediaan farmasi mencakup obat-obatan, kosmetik, dan suplemen kesehatan. Alat kesehatan mencakup termometer, alat cek gula darah, bidai, dan kursi roda, sedangkan bahan medis habis pakai meliputi masker, selang oksigen, sarung tangan lateks, dan jarum suntik.
Apoteker sendiri adalah tenaga kesehatan yang bertugas memastikan obat-obatan yang digunakan pasien aman, efektif, dan sesuai kebutuhan. Mereka juga memberikan edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan obat yang benar. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa di apotek tidak ada ruang untuk menjual produk yang melanggar regulasi, apalagi miras oplosan yang dilarang oleh hukum.
Penyelesaian Masalah dan Pendapat Penulis
Pernyataan anggota DPR ini tidak hanya keliru secara fakta, tetapi juga berpotensi merugikan profesi apoteker yang telah bekerja keras menjaga kesehatan masyarakat. Tuduhan tanpa dasar semacam ini dapat merusak citra apoteker di mata publik dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi mereka.
Untungnya, Muhammad Rofiqi sudah memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut saat diundang untuk bertemu dengan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, apt Noffendri Roestam, S.Si. Ia mengungkapkan bahwa apoteker ialah profesi yang sangat mulia. "Saya memahami, pernyataan yang saya sampaikan dalam rapat dengar pendapat tersebut telah menyinggung hati para apoteker di seluruh Indonesia. Saya sama sekali tidak bermaksud menyebut profesi apoteker sebagai pelaku tindak pidana yang dimaksudkan,'' ungkapnya
''Jadi 'apotek' dan 'apoteker' yang saya maksudkan dalam RDP tersebut, bukan apotek dan apoteker yang kita kenal selama ini, yaitu tempat pelayanan kefarmasian dan tenaga kesehatan yang memiliki tanggung jawab dan tugas mulia. 'Apotek' dan 'apoteker' yang saya maksudkan dalam RDP tersebut adalah istilah di dunia 'temaram' yang digunakan diantara para anggota gangster untuk menyembunyikan hal yang sebenarnya, untuk mengkamuflase di depan petugas dan masyarakat awam yang tidak mengetahuinya," imbuhnya.
Meskipun pernyataan anggota dewan dan kasus penembakan ini menuai kontroversi, tak dapat disanggah keberadaan miras memang meresahkan masyarakat. Dikutip dari Unair News tanggal 27 April 2018 seorang dosen Fakultas Psikologi, Dr. M. G. Bagus Ani Putra, pernah menyampaikan bahwa mengonsumsi minuman beralkohol dapat berdampak pada emosi peminumnya. Maka dari itu, masyarakat sekitar dan keluarga peminum alkohol memiliki andil dalam mengurangi dampak dari meminum minuman beralkohol.
Melalui artikel ini kita dapat menarik tiga kesimpulan. Yang pertama, ungkapan 'mulutmu harimaumu' harus selalu dijunjung tinggi. Apalagi jika yang memberi pernyataan adalah orang dengan posisi penting. Yang kedua, peredaran minuman beralkohol ilegal harus diberantas. Yang terakhir, apoteker adalah profesi yang sangat mulia, bukan seorang peracik miras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H