Mohon tunggu...
Bagas Andhika Purnomo
Bagas Andhika Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bagas Andhika Purnomo seorang Mahasiswa Jurusan Sejarah

Membahas mengenai seputar sejarah, kisah, tempat wisata, dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prestasi Kabinet Ali Sastroamidjojo II

29 Juni 2021   17:17 Diperbarui: 29 Juni 2021   17:44 11552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut Suryanegara (2010) Kabinet Ali berusaha untuk mencabut hubungan antara Indonesia dan Belanda, berdasarkan Konferensi Meja Bundar secara sepihak oleh Negara Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1956 pada tanggal 3 Mei 1956. Selain itu, hubungan kedua negara akan berlanjut seperti biasa antara negara berdaulat. 

Pengabaian hasil Konferensi Meja Bundar merupakan bagian dari program Kabinet Bruhanudin, yang berhasil menyusun RUU tentang pengabaian sepihak hasil KMB terhadap Uni Belanda. Soekarno tidak menyetujui RUU tersebut karena dia tidak menyukai Bruhanudin Harahap yang berasal dari Masyumi. RUU tersebut hanya ditandatangani oleh UU Penghapusan hasil KMB di bawah Pemerintahan Ali II. Empat bulan kemudian, Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa mereka telah menolak untuk membayar hutang yang diwarisi dari penjajah Belanda.

Penandatanganan UU mengenai penghapusan KMB oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1956 menimbulkan pertanyaan tentang nasib ibu kota Belanda di Indonesia. Usulan untuk menasionalisasikan perusahaan Belanda ditolak oleh sebagian besar anggota pemerintah. Lagi pula, banyak perusahaan Belanda yang benar-benar memiliki banyak uang dan menjual bisnis mereka ke Cina. 

Orang Cina telah lama membangun posisi yang kuat dalam perekonomian Indonesia. Maka, pada tanggal 19 Maret 1956, di hadapan Konferensi Nasional Importir Indonesia di Surabaya, Pak Assat mengumumkan bahwa pemerintah harus menetapkan peraturan untuk melindungi pengusaha dalam negeri. Hal tersebut dianggap penting karena pengusaha Indonesia kalah bersaing dengan pengusaha non-pribumi, terutama pengusaha dari Negara Cina (Poesponegoro dkk., 1993).

Deklarasi Assat mendapat dukungan masyarakat Indonesia, serta terdapat "Gerakan Assat" yang lahir di mana-mana. Menanggapi langkah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan pernyataan Menteri Perekonomian Burhanuddin yang menyatakan bahwa Pemerintah akan memberikan dukungan, khususnya kepada perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh pengusaha pribumi. 

Setelah Indonesia secara sepihak membatalkan KMB pada 20 Juli 1956, Moh. Hatta menawarkan diri untuk mundur sebagai wakil presiden. Artinya, wakil-wakil rakyat Indonesia selain Jawa akan dikeluarkan dari pemerintahan. Dalam pidato terakhirnya, dia mengutuk tindakan partai atas dasar kepentingan pribadi yang sempit. Moh. Hatta suka memperbaiki kelompok, tetapi Soekarno ingin melepaskan diri dari kelompok (Ricklefs, 2008).

Hubungan dengan Belanda memburuk ketika Belanda menolak merundingkan penyerahan Irian Barat kepada Indonesia. Pada tanggal 4 Agustus 1956, Kabinet Ali secara sepihak menolak untuk mengakui utang nasional sebanyak 3.661 miliyar gulden di bawah persetujuan KMB. 

Hal tersebut adalah 85% dari jumlah yang disepakati pada tahun 1949 untuk biaya perang Belanda melawan revolusi. Penolakan ini disambut hangat di Indonesia. Penghancuran hasil KMB menghilangkan bukti utama yang dipegang oleh PKI bahwa Indonesia berada dalam posisi semi-kolonial. Namun, Aidit kembali menggunakan kasus di Irian barat untuk menggagalkan Pemerintahan Kabinet Ali (Ricklefs, 2008).

Menurut Ricklefs (2008) Adanya kaum pemberontak (terutama dituduhkan kepada Masyumi) secara diam-diam bekerja dengan imperialis asing untuk membatasi kemerdekaan negara. Semakin lama adanya kesamaan masalah-masalah dan lawan dari PKI dan Soekarno. Struktur sosial dan politik negara sudah mulai runtuh. Politisi telah menunjukkan betapa mudahnya mengabaikan aturan hukum. Contoh berikut kira-kira dilakukan oleh orang lain, yakni saat kesulitan keuangan dan cenderung menjadi kambing hitam dari China dan dengan cepat diserang. Terutama di daerah-daerah di luar Jawa dan di Jawa yang Islamnya paling kuat.

Didorong oleh perbedaan daerah yang terungkap dalam pemilihan umum 1955, sentimen nasionalis dan daerah menjadi lebih jelas. Orang Sunda di Jawa Barat telah mengungkapkan dendam terhadap orang-orang Jawa. Ia mengatakan Jawa mendominasi persoalan kehidupan berbangsa. Pada bulan Agustus 1956, ketegangan meningkat di Jakarta. Salah satu pendukung Lubis menangkap Menteri Luar Negeri dari PNI, yaitu Ruslan Abdulgani karena dicurigai melakukan korupsi, tetapi perintah itu dicabut oleh Nasution, yang sebelumnya terpilih kembali sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. 

Kemudian Lubis diberhentikan sebagai Wakil Kepala Staf, merencanakan kudeta dengan dukungan beberapa perwira di Divisi Siliwangi. Soekarno kemudian ke luar negeri dalam kunjungan resmi. Mereka berencana untuk menurunkan Nasution dan membubarkan kabinet sebelum presiden kembali, tetapi langkah itu tidak berhasil (Ricklefs, 2008).

Pada tanggal 28 Oktober 1956, Soekarno menyerukan pembubaran kedua belah pihak dalam pidatonya. Dua hari kemudian, dia mengungkapkan pemikirannya tentang konsep baru demokrasi terkontrol. Nasir dan para pemimpin Masyumi lainnya menentang gagasan itu. Sementara itu, Murba yang tidak mungkin berkuasa di bawah sistem parlementer, memuji gagasan itu dan telah membangun hubungan dekat dengan Soekarno. PNI dan NU memilih sikap yang ambigu. PKI yang terutama mencari perlindungan, mendukung presiden tetapi tidak ingin membubarkan partai. 

Orang Jawa prihatin dengan sistem pemerintahan pemerintah Jawa, Sukarno-Murba dengan PKI, PNI, serta NU, dan para militan terhadap mereka dan Masyumi. Di kalangan tentara, para komandan di luar Jawa melihat sistem serupa yang dibentuk Jakarta untuk melawan mereka. (Ricklefs, 2008).

Referensi

Peranan Ali Sastroamidjojo Pada Masa Orde Lama Tahun 1953-1957. (Online)

Perbandingan Pandangan Surat Kabar Suluh Indonesia Dan Indonesia Raya Terhadap Kebijakan Kabinet Ali Sastroamidjojo II Tahun            1956-1957. (Online)

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia   VI. Jakarta : Balai Pustaka

Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta

Suryanegara, A.M. 2010. Api Sejarah 2 : Mahakarya Perjuangan Ulama dan santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung : Surya Dinasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun