"Ah, kau tak boleh seperti itu" aku coba meyakinkan dia
"tidak, sekarang aku cukup yakin." Yuga berhenti bicara dan menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Lalu ia kembali bicara "jangankan aku yg seperti ini, kau tau beberapa hari sebelum aku berhentikan. Pak Umar Sudah terlebih dahulu diberhentikan, padahal seumur hidup dia bekerja di kebun itu, anak istri makan dari keringat hasil kerja dikebun itu. Dari pohon sawit baru ditanam sampai tumbuh setinggi itu. Coba kau pikir kenapa dia berhentikan?"
"Pak Umar Sudah terlalu tua, mana dia mampu bekerja seberat itu"
"Bukan, kau salah."
"Maksud mu"
"Orang-orang itu, mereka yg berkuasa di perusahaan itu. Mereka selalu ingin tenaga yg besar, hasil yang besar, tetapi selalu ingin resiko yang kecil. Mereka sudah menghitung hasil dari tenaga ku yg tidak memiliki hasil besar juga tak mau mereka dengan tenaga pak Umar Yg sudah tua dan tak bertenaga"
Aku tidak merespon ucapan Yuga.
Dia menambahkan "tidak apalah, tidak apa mereka memecatku, itu cukup adil bagiku, tak apa."
Kekesalan Yuga sangat jelas terlihat, meskipun ia membalut kekesalan itu dengan kata 'tak apa'.
"kau Yakin tidak mau memohon agar bisa bekerja di sana lagi?" Aku mencoba menenangkan Yuga yang memendam kekesalannya.
"Sudah, tak akan mau aku mengemis pada mereka. Aku memang tidak berpendidikan, tidak terpandang, lahir dari kumpulan terbuang, tapi Buma, Kau harus ingat kata-kataku ini; tak boleh mengemis pada orang yang merampas hidup banyak orang; jangan sesekali kau mengemis hidup pada mafia-mafia itu; orang yang dipandang rendah oleh orang lain tidak boleh mengemis pada orang yang merendahkannya."