"ya itu urusan bapak, kami hanya menjalankan perintah, dan meminta bapak untuk mematikan api ini, kalau tidak..." orang itu berhenti bicara.
"kenapa?" tanya om Nara, "kalau tidak kenapa?" om Nara sedikit menantang.
"Hei, Pak." Bentak yang lainnya, "pokoknya kalau bapak tidak matikan api ini sekarang, bapak akan kami laporkan ke polisi"
Om Nara terdiam, tidak menjawab. Maklumlah namanya orang kampung, tak berpendidikan, mendengar ancaman seperti itu otomatis om Nara akan takut. Tetapi kemudian aku berpikir. Bagaimana berladang tidak membakar?, bukannya ini sudah jadi sebuah kebiasaan turun-temurun yang dilakukan dengan sangat serius dan penuh pertimbangan?
"ada apa sebenarnya pak?" tanya ayahku.
"bapak tahukan bahwa ada perusahaan yang kemarin habis terbakar?" tanya orang itu dan ayah mengangguk. "nah, kami hanya ingin mengantisipasi kebakaran lahan, bapak juga tahu, lahan perkebunan itu hanya sekitar satu kilo meter dari sini, dan itu adalah jarak yang sangat dekat dan sangat mungkin api bapak ini menjalar ke perkebunan kelapa sawit kami".
Karena sudah dijelaskan panjang lebar oleh salah satu dari keempat orang itu, om Nara dengan berat hati, dibantu ayahku untuk mematikan bakaran ladang, tidak ada pilihan lain, mana mampu orang sekelas om Nara atau ayahku melawan orang-orang itu, apalagi sudah bawa-bawa nama polisi dan hukum. Mana kami mengerti, maklum, kami orang kampung.
Aku mengamati terus sampai keempat orang itu pergi, setelah mereka pergi aku menghampiri om Nara dan ayahku yang sedang mematikan bakaran ladangnya dibantu juga oleh beberapa orang yang memang sedari awal sudah menjaga api di batas-batas ladang lainnya.
"kenapa dimatikan?" tanyaku seolah tidak tahu apa-apa.
"tidak, kau masih terlalu kecil Laguh" sahut om Nara. "nanti kau akan mengerti, kenapa kami tidak melawan."
"makanya nak, sekolahlah setinggi mungkin, agar kau tidak jadi bodoh seperti kami" tambah ayahku.