Mohon tunggu...
Muhammad Taufiq Badruzzuhad
Muhammad Taufiq Badruzzuhad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Keuangan Negara STAN

Seorang Mahasiswa yang memiliki minat dalam Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memajaki Sektor Hard to Tax di Indonesia

18 Mei 2023   00:36 Diperbarui: 18 Mei 2023   00:43 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat memunculkan berbagai macam jenis profesi baru. Profesi-profesi baru ini sebagian besar berhubungan dengan dunia digital, seperti social media specialist, content creator, data analyst, UI designer, dan sebagainya. 

Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem perpajakan yang dinamis untuk senantiasa mengikuti perkembangan zaman agar mampu memajaki potensi pajak yang muncul dari jenis pekerjaan baru tersebut. 

Namun sedikit bertolak belakang dengan hal itu, sampai dengan saat ini masih terdapat sektor-sektor konvensional yang belum juga mampu digali lebih lanjut potensi perpajakannya. Sektor tersebut memerlukan kebijakan khusus untuk dapat memasukkannya ke dalam sistem perpajakan normal dari suatu negara. Sektor ini selanjutnya disebut sebagai sektor yang sulit dipajaki (hard to tax).

Sektor hard to tax merupakan sektor yang secara umum sulit untuk diadministrasikan perpajakannya melalui sistem pajak yang berlaku normal. Menurut Thuronyi (2004), wajib pajak hard to tax memiliki potensi yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya administrasi perpajakannya sehingga tidak memenuhi asas economic dalam pemungutan pajaknya. Secara umum, karakteristik dari suatu sektor yang masuk kedalam kategori hard to tax adalah sebagai berikut:

  • Jumlahnya sangat banyak sehingga sulit untuk diawasi secara intensif;
  • Penghasilannya kecil, seringkali dibawah PTKP;
  • Tidak diwajibkan untuk melakukan pembukuan sesuai standar akuntansi yang berlaku;
  • Sebagian besar transaksinya dilakukan secara tunai; dan/atau
  • Penghasilan mudah disembunyikan untuk menghindari pajak.

Dalam paper yang berjudul “Presumptive Taxation of The hard to Tax”, Victor Thuronyi (2004) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat dua sektor hard to tax yakni usaha kecil atau UMKM (small business) dan agrikultur (pertanian, perkebunan, kehutanan, dan peternakan). Wirausahawan UMKM di Indonesia secara jumlah cukup banyak. 

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, terdapat setidaknya 8,71 juta unit usaha pada tahun 2022. Sesuai dengan karakteristik hard to tax, pada umumnya pelaku sektor UMKM tersebut tidak biasa dan tidak diwajibkan untuk melakukan pembukuan sesuai standar akuntansi yang ada. Mereka juga terbiasa melakukan transaksi secara tunai sehingga peredaran bruto sulit untuk tercatat secara sistem. Hal tersebut menimbulkan potensi yang besar untuk para pelaku usaha menyembunyikan penghasilannya.

Selain sektor usaha kecil, Sektor agrikultur juga masuk kedalam sektor yang sulit untuk dijangkau sistem perpajakan normal. Sektor agrikultur memiliki potensi pajak yang cukup besar, misalnya pada 2018 ukuran ekonomi sektor pertanian di PDB sebesar 12,81% atau Rp1.900,4 triliun. Namun kontribusinya ke penerimaan pajak hanya 1,7% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2018 atau sebesar Rp20,69 triliun. Sama seperti usahawan kecil, pelaku sektor agrikultur (petani dan peternak) berjumlah sangat banyak di Indonesia. 

Setidaknya pada bulan Agustus 2022, terdapat 38,7 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor agrikultur. Selain itu, masalah tidak biasa melakukan pembukuan sesuai standar akuntansi dan bertransaksi secara tunai juga terjadi di sektor ini. Atas beberapa indikator tersebut, petani dan peternak juga berpotensi untuk tidak melaporkan penghasilannya dalam sistem self assessment kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Memajaki sektor hard to tax sebenarnya sudah menjadi isu global sejak jaman dulu. Adapun solusi yang paling umum digunakan untuk mengenakan pajak terhadap sektor ini adalah dengan model presumptive taxation

Pajak berdasarkan dugaan (presumptive tax) merupakan sekumpulan prosedur (langsung atau tidak langsung) untuk menentukan basis penghasilan yang dikenai pajak melalui indikator sederhana yang mudah untuk diukur (Ahmad & Stern, 1991). Presumptive tax dipercaya dapat menjadi solusi yang ampuh untuk memajaki sektor hard to tax. 

Beberapa negara di dunia telah menggunakan presumptive tax untuk memajaki wajib pajak yang sulit dipajaki mereka. Adapun bentuk dari presumptive tax tersebut misalnya di Perancis menerapkan metode kontraktual (forfait), Israel menerapkan panduan penilaian standar (Tachsiv), Ukraina menerapkan sistem patent, serta Rusia menerapkan simplified tax dalam tax law dan imputed tax dalam uniform tax law.

Presumptive tax sudah diadopsi di Indonesia dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP-46). Dalam PP-46 tersebut diatur mengenai pemajakan usahawan kecil yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. 

Wajib pajak dikenakan tarif 1% dari omzet tersebut dan bersifat final dibayarkan setiap bulan. Penyederhanaan mekanisme ini cukup efektif untuk memasukkan para pelaku UMKM ke dalam sistem perpajakan Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu terdapat beberapa kendala seperti tarif yang dirasa terlalu tinggi dan terdapat usahawan sangat kecil yang seharusnya tidak perlu membayar pajak tetapi tetap terkena dampak atas pengenaan pajak secara menyeluruh oleh aturan tersebut. 

Atas dinamika yang terjadi, pemerintah juga secara bertahap telah melakukan revisi atas PP-46 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PP-23) yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP-55). Dalam PP-55 diberikan ambang batas (threshold) sehingga wajib pajak dengan omzet dibawah 500 juta dalam setahun tidak perlu membayar pajak. 

Selain itu, sesuai dengan tujuan presumptive tax yakni mendorong wajib pajak agar siap untuk memasuki sistem pemajakan normal, pemerintah memberikan batas waktu penggunaan PP-55 tersebut. Wajib pajak badan yang berbentuk PT hanya dapat memanfaatkannya selama 3 tahun. 

Wajib pajak badan lainnya seperti CV, firma, koperasi, perseroan perorangan, BUMDes/Bersama dapat menggunakan fasilitas tersebut selama 4 tahun. Adapun orang pribadi dapat menggunakan mekanisme PP-55 selama 7 tahun sejak tahun pemanfaatan fasilitas tersebut.

Berbeda dengan usahawan kecil, sektor hard to tax yang yang lain seperti agrikultur belum terjangkau oleh pengenaan presumptive tax. Seperti yang kita ketahui dalam hal tidak diatur secara khusus, maka sektor agrikultur akan menggunakan sistem perpajakan normal yang berlaku di Indonesia. 

Sebagai sektor yang sulit untuk dipajaki, dengan tidak adanya kebijakan khusus terkait pajak atas penghasilan yang diperoleh rasanya sulit untuk dapat mengoptimalkan potensi perpajakan yang dapat digali dari sektor tersebut. Saat ini belum banyak kebijakan pajak khusus yang mengatur sektor agrikultur. 

Beberapa aturan yang sudah ada antara lain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu dimana atas penjualan hasil pertanian dikenakan PPN dengan Dasar pengenaan Nilai sebesar 10% dari harga jual atau dengan tarif efektif sebesar 1,1% dari harga jual. 

Peraturan berikutnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain yang di dalamnya diatur mengenai pembelian bahan-bahan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur.

Kebijakan pajak untuk sektor agrikultur di Indonesia baru sebatas pengenaan PPN dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan dan konsumsi hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Belum ada aturan spesifik yang mengatur bagaimana cara memajaki penghasilan yang diterima pelaku usaha sektor agrikultur ini. 

Oleh karena itu, pengenaan presumptive tax kepada sektor agrikultur dirasa dapat menjadi solusi untuk menangkap potensi pajak yang ada. Namun perlu menjadi perhatian bahwa perlu ditentukan dengan tepat apa yang akan dijadikan ambang batas pengenaan fasilitas presumptive tax ini. indikator seperti luas tanah ataupun peredaran bruto hasil panen dapat digunakan untuk menyaring wajib pajak penerima fasilitas. 

Selain itu, penentuan seberapa tinggi threshold menjadi poin penting karena dengan penetapan threshold yang terlalu rendah justru dapat mematikan sektor agrikultur Indonesia. Petani dan peternak yang masuk dalam kategori miskin akan diwajibkan untuk membayar pajak akibat pemberlakuan threshold yang terlalu rendah.

Pada akhirnya kebijakan presumptive tax ini harus diberikan secara hati-hati. Kebijakan ini harusnya hanya menjadi “jembatan” untuk wajib pajak agar siap untuk memasuki sistem pajak yang normal. 

Oleh karena itu, jangan sampai dengan fasilitas yang terlalu menarik justru membuat wajib pajak yang telah berada di sistem pajak normal turun kasta ke dalam sistem presumptive tax ini. Pemerintah juga harus mendorong wajib pajak yang menikmati fasilitas presumptive tax agar dapat menjalankan kewajiban pajaknya dengan sistem normal di tahun-tahun mendatang.

Referensi:

Ahmad, Etisham & Nicholas Stern. (1991). The Theory and Practice of Tax Reform in Developing Countries. Cambridge: Cambridge University Press.

Aris, Achmad. (2019). Rendahnya Rasio Pajak Indonesia, Antara Peluang & Kemampuan. Diakses pada 17 Mei 2023 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190729/259/1129806/rendahnya-rasio-pajak-indonesia-antara-peluang-kemampuan/5.

Kusnandar, Viva Budy. (2023). Sekitar 38 Juta Penduduk Indonesia Bekerja di Sektor Pertanian pada Agustus 2022. Diakses pada 17 Mei 2023 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/10/sekitar-38-juta-penduduk-indonesia-bekerja-di-sektor-pertanian-pada-agustus-2022.

Santika. Erlina F. (2022). Jumlah UMKM di Indonesia Sepanjang 2022, Provinsi Mana Terbanyak?. Diakses pada 17 Mei 2023 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/-0001/11/30/jumlah-umkm-di-indonesia-sepanjang-2022-provinsi-mana-terbanyak.

Thuronyi, Victor. (2004). Presumptive Taxation of the Hard to Tax. Contributions to Economic Analysis, 101-120, 268. https://doi.org/10.1016/S0573-8555(04)68805-5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun