Mohon tunggu...
Muhammad Taufiq Badruzzuhad
Muhammad Taufiq Badruzzuhad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Keuangan Negara STAN

Seorang Mahasiswa yang memiliki minat dalam Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memajaki Sektor Hard to Tax di Indonesia

18 Mei 2023   00:36 Diperbarui: 18 Mei 2023   00:43 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presumptive tax sudah diadopsi di Indonesia dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP-46). Dalam PP-46 tersebut diatur mengenai pemajakan usahawan kecil yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. 

Wajib pajak dikenakan tarif 1% dari omzet tersebut dan bersifat final dibayarkan setiap bulan. Penyederhanaan mekanisme ini cukup efektif untuk memasukkan para pelaku UMKM ke dalam sistem perpajakan Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu terdapat beberapa kendala seperti tarif yang dirasa terlalu tinggi dan terdapat usahawan sangat kecil yang seharusnya tidak perlu membayar pajak tetapi tetap terkena dampak atas pengenaan pajak secara menyeluruh oleh aturan tersebut. 

Atas dinamika yang terjadi, pemerintah juga secara bertahap telah melakukan revisi atas PP-46 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PP-23) yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP-55). Dalam PP-55 diberikan ambang batas (threshold) sehingga wajib pajak dengan omzet dibawah 500 juta dalam setahun tidak perlu membayar pajak. 

Selain itu, sesuai dengan tujuan presumptive tax yakni mendorong wajib pajak agar siap untuk memasuki sistem pemajakan normal, pemerintah memberikan batas waktu penggunaan PP-55 tersebut. Wajib pajak badan yang berbentuk PT hanya dapat memanfaatkannya selama 3 tahun. 

Wajib pajak badan lainnya seperti CV, firma, koperasi, perseroan perorangan, BUMDes/Bersama dapat menggunakan fasilitas tersebut selama 4 tahun. Adapun orang pribadi dapat menggunakan mekanisme PP-55 selama 7 tahun sejak tahun pemanfaatan fasilitas tersebut.

Berbeda dengan usahawan kecil, sektor hard to tax yang yang lain seperti agrikultur belum terjangkau oleh pengenaan presumptive tax. Seperti yang kita ketahui dalam hal tidak diatur secara khusus, maka sektor agrikultur akan menggunakan sistem perpajakan normal yang berlaku di Indonesia. 

Sebagai sektor yang sulit untuk dipajaki, dengan tidak adanya kebijakan khusus terkait pajak atas penghasilan yang diperoleh rasanya sulit untuk dapat mengoptimalkan potensi perpajakan yang dapat digali dari sektor tersebut. Saat ini belum banyak kebijakan pajak khusus yang mengatur sektor agrikultur. 

Beberapa aturan yang sudah ada antara lain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu dimana atas penjualan hasil pertanian dikenakan PPN dengan Dasar pengenaan Nilai sebesar 10% dari harga jual atau dengan tarif efektif sebesar 1,1% dari harga jual. 

Peraturan berikutnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain yang di dalamnya diatur mengenai pembelian bahan-bahan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur.

Kebijakan pajak untuk sektor agrikultur di Indonesia baru sebatas pengenaan PPN dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan dan konsumsi hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Belum ada aturan spesifik yang mengatur bagaimana cara memajaki penghasilan yang diterima pelaku usaha sektor agrikultur ini. 

Oleh karena itu, pengenaan presumptive tax kepada sektor agrikultur dirasa dapat menjadi solusi untuk menangkap potensi pajak yang ada. Namun perlu menjadi perhatian bahwa perlu ditentukan dengan tepat apa yang akan dijadikan ambang batas pengenaan fasilitas presumptive tax ini. indikator seperti luas tanah ataupun peredaran bruto hasil panen dapat digunakan untuk menyaring wajib pajak penerima fasilitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun