Mohon tunggu...
B A D R U S
B A D R U S Mohon Tunggu... Dosen - Guru

Membaca/Menulis/Ekstrovert/Suka bercerita segala hal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menciptakan Ruang Emansipatif dalam Keberagaman Manusia

31 Januari 2023   17:02 Diperbarui: 31 Januari 2023   16:59 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MENCIPTAKAN RUANG EMANSIPATIF DALAM KEBERAGAMAN MANUSIA

Oleh; Mohammad Badrus Sholih

Manusia selalu dihadapkan atas identitas yang beragam dalam alam jagad raya. Hal itu membuatnya kewalahan dan canggung untuk menghadapi itu semua. Tak bisa dipungkiri manusia selalu melihat hal yang material dalam dirinya sendiri dan orang lain untuk mengidentifikasi terus-menerus sampai ia mati. Manusia tidak bergeming di hadapan realitas yang tak terbatas (regresi tak terbatas). Adanya kekerasan identitas adalah satu bukti konkret bagaimana manusia tidak siap dihadapkan pada keberagaman yang sebenarnya merupakan keniscayaan dan tidak bisa dia hapuskan.

Dalam keseharian manusia ketika bertemu dengan orang baru, mereka mengidentifikasi perbedaan dirinya dan diri orang lain. Kredo tersebut adalah anomali kehidupan manusia yang sebanrnya bukan fitrah manusia itu sendiri. Bisa dikatakan arus globalisasi dan adanya intrik humanisme modern membawa hilir mudik kekerasan identitas akan selalu muncul, merebah menjadi bibit-bibit tanaman yang kelak akan tumbuh dan memuai.

Untuk itu, jalan keluar keberagaman antar manusia terasa sangat sulit untuk dicapai melihat bagaimana problem eksistensi identitas selalu merujuk pada wajahnya yang arogan, diskriminatif, dan eksploitatif. Namun, usaha-usaha mengenai emansipasi---dalam bentuknya yang kaya, luas, dan kompleks---harus tetap diupayakan. Tidak ada sesuatu yang mustahil untuk mencapai keberagaman hidup yang harmonis dalam kehidupan manusia. Maka, penjelahan, pengenalan akan identitas dengan berlandaskan ilmu perlu selalu disebarluaskan.

Akar Kekerasan Identitas

Subjek manusia terdiri atas fondasi hasrat yang ia dapatkan dalam dunia kolektif pada masa lalu. Hal tersebut bisa kita lihat dalam pandangan Lacan mengenai tiga fase yang niscaya akan dilalui oleh manusia---ther real, imaginer, symbolic---sampai kapanpun. Fase pertama merupakan bentuk keutuhan manusia dengan ketiadaan Bahasa di dalamnya. Bisa dikatakan tanpa Bahasa apa kebutuhan dan keinginan manusia tercukupi tanpa perlu ia mengatakannya (fase ketika manusia dalam pelukan ibu).

Fase kedua, manusia diandaikan berada di depan kaca, memandang dirinya dengan seksama, kemudian mengidentifikasi dirinya dengan bentuknya yang plural---siapa diri saya, akan kemana diri saya. Pertanyaan tersebut akan tampil dan membuncah kepermuakaan---dan abstrak, sehingga manusia selalu melihat di luar dirinya untuk ia jadikan patokan kepada siapa ia harus menjadi. Pada tahap ketiga ini, manusia berada dalam tatanan yang puncak, Bahasa telah menjadi sebuah kesadaraan, mengejawantahkan mereka dalam keterbelahannya untuk memaknai segala realitas.

Pada titik itu manusia mengambil salah satu identifikasi pas untuk menyatakan kedaulatan atas dirinya. Namun, hal yang mengerikan menjadi garis matrik yang tidak kasat mata. Manusia cenderung salah mengidentifikasi hasrat orang lain menjadi hasrat mereka. Ketika itu juga manusia teralienasi dalam bentuknya yang pecah.

Tak kepalang, kekerasan identitas bermula dari titik di mana manusia kehilangan akal sehat. Memaknai hasrat mesin pembunuh, seperti yang dikatakan oleh Deleuz dan Guattari untuk memaknai hasrat kapitalisme yang cenderung melegitimasi kepentingan individu dan mencoba membentuk hasrat orang lain demi tercapainya tujuan mereka. Dari kebulusan hasrat sebagai fondasi hidup manusia, maka perlu membentuk ruang emansipatif keberagaman dengan meletakkan manusia sebagai cara pandang yang adikodrati.

Manusia sebagai Manusia

Kecenderungan manusia melihat selain dirinya sebagai sesuatu yang berkekurangan adalah bentuk degradasi nilai-nilai kemanusiaan secara utuh. Kecakapan identitas bukan merupakan citra buruk dalam diri subjek, bahkan identitas menjadi sebuah ciri khas yang mendasar, dan membedakan satu sama lain. Namun nyatanya hal tersebut hanyalah sebuah kata klise dalam bentuknya yang artefak. Kapitalisme merubah hal tersebut delam bentuknya yang sulit dibedakan, membentuk identitas hasrat manusia menjadi nomor satu, dan tidak tertandingi. Jika ada, maka kekerasan, diskriminasi adalah jalan halal yang harus mereka tempuh.

Melihat manusia sebagai manusia adalah jalan keluar tanpa tawaran, melihat bagaimana manusia selalu berfondasikan keberagaman adalah ihwal yang sulit mereka terima, maka melihat manusia sebagai manusia akan merubah cara pandang diskriminatif mereka terhadap keberagaman yang terdapat dalam alam jagat raya ini. Lihat bagaimana manusia sibuk membentuk ruang-ruang kultural diskriminatif terhadap keberagaman, walaupun sebenarnya mereka sesama manusia.

Ada yang hilang dalam diri manusia yang harus kita kembalikan dalam hasratnya yang utuh, mengembalikan manusia sebagai esensinya sebagai manusia dengan penuh kekurangan dan bersosial. Keberagaaman adalah keniscayaan yang sampai kapanpun tidak akan pernah sama. Seperti contoh manusia tidak semua menjadi seorang nelayan, saudagar, Madura, Sunda, Ngapak dan yang lain.

 Namun, jangan lupa, manusia adalah manusia yang akan tetap sama sampai kapanpun. Ia hanya beridentitas temporal dan memungkinkan untuk memilih dan berpindah identitas sesuai identifikasi mereka dalam kehidupan. Ruang emansifatif dengan cara pandang manusia sebagai manusia meniscayakan kesejahteraan, keharmonisan, dan perdamaian paripurna.

Yogyakarta, 1 November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun