Kecenderungan manusia melihat selain dirinya sebagai sesuatu yang berkekurangan adalah bentuk degradasi nilai-nilai kemanusiaan secara utuh. Kecakapan identitas bukan merupakan citra buruk dalam diri subjek, bahkan identitas menjadi sebuah ciri khas yang mendasar, dan membedakan satu sama lain. Namun nyatanya hal tersebut hanyalah sebuah kata klise dalam bentuknya yang artefak. Kapitalisme merubah hal tersebut delam bentuknya yang sulit dibedakan, membentuk identitas hasrat manusia menjadi nomor satu, dan tidak tertandingi. Jika ada, maka kekerasan, diskriminasi adalah jalan halal yang harus mereka tempuh.
Melihat manusia sebagai manusia adalah jalan keluar tanpa tawaran, melihat bagaimana manusia selalu berfondasikan keberagaman adalah ihwal yang sulit mereka terima, maka melihat manusia sebagai manusia akan merubah cara pandang diskriminatif mereka terhadap keberagaman yang terdapat dalam alam jagat raya ini. Lihat bagaimana manusia sibuk membentuk ruang-ruang kultural diskriminatif terhadap keberagaman, walaupun sebenarnya mereka sesama manusia.
Ada yang hilang dalam diri manusia yang harus kita kembalikan dalam hasratnya yang utuh, mengembalikan manusia sebagai esensinya sebagai manusia dengan penuh kekurangan dan bersosial. Keberagaaman adalah keniscayaan yang sampai kapanpun tidak akan pernah sama. Seperti contoh manusia tidak semua menjadi seorang nelayan, saudagar, Madura, Sunda, Ngapak dan yang lain.
 Namun, jangan lupa, manusia adalah manusia yang akan tetap sama sampai kapanpun. Ia hanya beridentitas temporal dan memungkinkan untuk memilih dan berpindah identitas sesuai identifikasi mereka dalam kehidupan. Ruang emansifatif dengan cara pandang manusia sebagai manusia meniscayakan kesejahteraan, keharmonisan, dan perdamaian paripurna.
Yogyakarta, 1 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H