Pada zaman dahulu di sebuah hutan lebat hidup keluarga macan yang harmonis. Terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sang ayah merupakan raja hutan yang sangat dihormati dan ditakuti oleh binatang lain. Sehingga keluarga macan ini selalu tercukupi kebutuhan makanannya.
Suatu masa, di hutan sedang krisis makanan. Karena rusa-rusa diburu manusia untuk diambil tanduknya. Tentu sang Raja Hutan merasa harus segera mengatasi kondisi ini.
Suatu sore sang ayah mengajak anaknya untuk jalan-jalan.
"Ayah, kita mau kemana?", tanya sang anak.
"Kita mau jalan-jalan ke desa terdekat, nak. Siapa tau ada makanan yang lebih banyak dan lezat", jawab sang ayah.
"Tapi kan ibu di rumah sendirian. Kasihan. Apalagi ibu sedang mengandung.", balas sang anak mulai khawatir
"Tenang. Kita ke desa, sekalian mencari makanan yang lebih bergizi. Kita nanti bawa makanan yang banyak untuk ibu dan calon adikmu ya." jawab sang ayah menenangkan.
"Tapi aku takut yah, nanti kalo ada apa-apa bagaimana?", tanya sang anak semakin risau.
"Jangan takut nak, ayahmu ini RAJA HUTAN!. Tak ada yang mampu mengalahkan. Hahaha", jawab sang ayah sangat meyakinkan.
Akhirnya mereka tiba di pinggiran sebuah desa. Mayoritas warga desa adalah petani dan peternak domba. Mereka berdua bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat sekeliling dan tampak pemandangan sawah yang indah dan luas. Para petani membawa cangkul penuh lumpur di pundaknya tanda pulang dari sawah. Terlihat juga beberapa penggembala yang memasukkan dombanya ke dalam kandang. Ibu-ibu juga berkemas mengangkat jemuran pakaian. Anak-anak kecil membantu mengangkat jemuran ikan asin di samping rumah.
Hari mulai gelap, aktivitas desa mulai sepi. Sang ayah macan mulai berbicara dengan anaknya.
"Lihat domba-domba itu nak. Gemuk-gemuk ya?"
"Iya yah. Sepertinya lezat", air liur si macan kecil mulai menetes
"Kamu sembunyi di bawah jemuran ikan asin itu. Ayah mau ambil beberapa domba di kandang warga untuk makan keluarga dan rakyat kita"
"Siap yah", sahut sang anak
Si macan kecil pun bersembunyi di bawah jemuran ikan asin untuk mengawasi aksi sang ayah mengendap-endap ke kandang domba. Si macan kecil melihat ada ikan asin yang tercecer di sekitarnya, lalu mengendus dan memakannya. Rasanya nikmat sekali. Tidak kalah dengan daging buruan yang selama ini ia makan.
Tiba-tiba dari kandang domba ada suara.
"Macaaaan... Macaaaan.!!!!" Teriak si pemilik domba ketakutan
Tetangga sekitar langsung ramai berdatangan. Ada yang membawa obor api, arit dan cangkul untuk mengepung si macan. Membuat si ayah macan itu tersudut di pojok kandang.
Sang ayah mencoba melawan tapi dia takut dengan api. Sedangkan orang-orang juga takut mendekat karena khawatir diterkam. Hingga akhirnya, sang dukun desa sakti mandraguna berlari membawa tombak dan menancapkannya ke perut si macan.
"AKU KUTUK KAU!!! Keturunanmu selanjutnya takkan sama denganmu!", teriak sang dukun bersumpah
Sang raja hutan pun akhirnya mati. Melihat kejadian itu si macan kecil langsung mengendap dan lari ketakutan pulang ke dalam hutan. Ia sangat sedih dan menceritakan semua peristiwa itu ke ibunya. Sang ibu merasa terpukul, apalagi sebentar lagi anak dalam perutnya juga akan lahir.
Kabar kematian sang Raja hutan pun tersebar ke penjuru arah. Sehingga diadakan pemilihan raja hutan baru dan semua sepakat memilih Singa untuk menjadi raja hutan berikutnya.
Satu bulan berikutnya, sang ibu melahirkan. Sang adik sangat lucu dan menggemaskan. Mereka sangat bersyukur, meskipun memiliki loreng yang berbeda. Jika sang kakak dan ibu memiliki loreng hitam orange, sedangkan si adik memiliki loreng hitam abu-abu. Meski demikian mereka sangat sayang dengan hadirnya anggota keluarga yang baru.
Menginjak remaja, sang ibu meninggal. Sehingga sang kakak harus merawat adiknya secara mandiri. Si adik masa pertumbuhannya terbilang lambat, tubuhnya masih kecil dan suaranya cempreng tak segahar macan-macan lain seusianya. Hal itu membuat ia malu dan minder setiap bertemu temannya. Namun, sang kakak selalu menghibur dan sangat menyayangi adiknya.
Suatu malam sang adik bertanya pada kakaknya.
"Kakak dulu tahu bagaimana ayah meninggal?"
"Adikku sayang, mengapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" jawab sang kakak dengan lembut
"Ingin tahu saja kak, kan aku tidak bertemu ayah. Apalagi aku juga beda seperti ini, sering diolok-olok sama teman-teman." ,si adik mulai cemberut.
"Hey, jangan malu. Kita harusnya bangga dengan ayah. Â Saat masa krisis makanan dulu, ayah adalah orang pertama yang mencari makanan ke desa. Sungguh pemberani!", Jawab sang kakak meyakinkan
"Wah hebat ya! Ayah ternyata pemimpin yang bertanggung jawab dan sigap", jawab sang adik dengan bangga
"Iya dek. Ayah itu Raja hutan yang sangat hebat!", Balas sang kakak
"Oh iya kak, terus ayah berhasil membawa makanannya?" , sang adik mulai penasaran
"Hmmmmm... disitulah akhir hidup ayah", jawab sang kakak menghela nafas.
"Kenapa kak?"
"Ayah dibunuh oleh warga desa", sang kakak mulai menitikkan air mata.
"Kalau begitu boleh kita besok ke desa itu?", tanya sang adik
"Jangan dek, bahaya!"
"Tapi aku ingin melihat jejak kepahlawanan ayah kita. Aku ingin seperti ayah yang hebat. Boleh ya kak?" , tanya sang adik penuh harap
"Hmmmmm... Iya deh. Besok kita kesana. Tapi ingat. Selama di desa jangan jauh-jauh dari kakak"
"Oke kak"
"Ya sudah, kita tidur yuk. Sudah larut malam"
"Ayo kak. Nggak sabar buat besok"
Keesokan harinya, kakak beradik ini berangkat menuju desa. Sesampainya di desa, terlihat warga yang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Mereka berdua bersembunyi di balik semak-semak.
"Dulu, kakak dan ayah bersembunyi di sini untuk memantau keadaan.", sang kakak mulai bercerita
"Memantau apa kak?"
"Memantau untuk memastikan bahwa domba-domba yang gemuk itu sudah tidak ada penjaganya dan bisa diambil."
"Nah, Kau tau  itu? Disitu kakak pernah mencoba makanan yang lezaaat sekali. Tak kalah enak dari hewan buruan di hutan", sang kakak menunjukkan tempat menjemur ikan asin
"Lalu, kakak bersembunyi di bawah jemuran itu dan melihat ayah mengendap-endap ke kandang domba. Ayah pun siap menangkap domba itu dan...", sang kakak berhenti bercerita dan bingung mencari adiknya.
Ternyata sang adik tanpa disadari sudah berlari menuju tempat jemuran ikan asin. Si adik mengendus aroma yang sedap dan menemukan ikan asin yang tercecer di bawah lalu memakannya. Ternyata sangat lezat seperti perkataan kakaknya tadi.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu datang dan melihat hewan imut itu. Karena penasaran ia pun mendekati si adik macan itu dengan membawa ikan asin yang lebih segar. Si adik macan itu pun tergoda dan memakan ikan asin segar yang dibawakan untuknya. Ibu tadi pun merasa gemas dan mengelus-elus kepala si adik macan ini dengan lembut.
Khawatir terjadi apa-apa sang kakak macan pun lari menuju rumah itu. Ibu itu pun reflek membawa si adik macan dan berlari masuk ke rumah. Pintu Rumah ditutup rapat. Ibu itu pun berteriak ketakutan. Suaminya pun dari dalam rumah langsung keluar membawa obor api dan mengusir si kakak macan tadi. Karena takut dengan api sang kakak pun lari pulang ke hutan.
Selama di hutan ia sangat mengkhawatirkan sang adik. Ia teringat lagi peristiwa terbunuhnya sang ayah. Bahkan iya pun ingat betul kutukan dukun desa saat membunuh ayahnya. Sang kakak macan pun sadar bahwa adiknya tak kunjung besar dan berbeda akibat kutukan dari dukun tersebut. Justru hal tersebut semakin membuat ia khawatir dan mulai mengajak teman-teman macan lainnya untuk membantu menyerang desa dan menyelamatkan adiknya.
Suatu malam sang kakak macan beserta kawanannya datang ke desa untuk menyelamatkan sang adik. Sang kakak berhasil masuk ke rumah tempat adiknya di tangkap. Sedangkan kawanannya berjaga di luar. Akhirnya ia menemukan adiknya sedang santai di lantai dapur.
"Adikku sayang. Ternyata kau baik-baik saja. Aku khawatir sama kamu dek" Sang kakak macan memeluk adiknya.
"Bagaimana kakak bisa masuk?"
"Udah itu urusan gampang. Yang penting sekarang ayo kita pulang." sang kakak tampak senang
"Ndak mau ah kak. Lebih Enak disini. Ikan asin lebih lezat dan aku suka ketimbang daging di hutan" jawab sang adik
"Tapi, kita kan keluarga dek, harus selalu bersama. Di luar juga banyak teman-teman yang rela jauh-jauh kesini. Menantang bahaya demi kamu" ujar sang kakak
"Haaah? Teman? Teman macam apa selalu mengejek aku. Aku tak suka sama sikap mereka. Disini aku juga aku disayang bahkan diberi nama baru yaitu kucing." Jawab sang adik
Di tengah kegelapan, tiba-tiba orang-orang berdatangan membawa obor api di luar rumah. Teman-teman macan yang berjaga mulai meraum ketakutan mengajak sang kakak macan untuk segera keluar dan pulang. Melihat kondisi itu sang kakak pun mulai panik.
"Ayo dek, kita pulang sekarang!", hardik sang kakak
"Pulang sendiri sana sama teman-teman mu yang sombong itu. Aku lebih memilih tinggal disini daripada sama kalian", tegas sang adik
Lalu si kucing pun teriak dengan keras dan membuat pemilik rumah datang. Pemilik rumah langsung membawa obor dan parang. Seketika sang kakak macan dan kawanannya lari terbirit-birit menuju hutan.
Dengan kesalnya sang macan bersumpah
"Hei kucing. Awas ya! Kalau kami berjumpa denganmu, maka akan kami makan kamu se nai-nai mu (se anak-anakmu). Ingat itu!"
Karena teriakan dari jauh, si kucing pun salah mendengar,
"Hei kucing. Awas ya! Kalau kami berjumpa denganmu, maka akan kami makan kamu se tai-tai mu (se kotoranmu). Ingat itu!"
Sejak saat itu si kucing setiap kali buang air besar, kotorannya selalu ia kubur karena khawatir akan dimakan kawanan macan.
Bahkan kebiasaan itu tak dimiliki oleh binatang lain.
Tamat
Pesan moral:
1. Sebagai pemimpin harus selalu sigap dan bertanggung jawab atas masalah di wilayahnya
2. Sesama keluarga harus saling menyayangi dan melindungi
3. Jangan melakukan body shamming atau bullying ke orang lain yang memiliki kekurangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H