Ahad, 21 Juni 2020, tepat seminggu yang lalu, saya, istri, dan Ladit (ponakan yang sudah saya anggap anak sendiri) berangkat ke pantai Balekambang. Ini sudah kami rencanakan sekitar tiga hari sebelumnya. Kali ini, pasti menjadi pengalaman yang berbeda. Sebab, kami akan ngecamp di sana selama sehari-semalam.
Agar saat di pantai tidak terbebani segala macam pekerjaan, saya berusaha merampungkan semuanya. Paling tidak, akan meminimalisir beban saya nanti saat di sana. Pagi harinya saya telah menyelesaikan sejumlah aktifitas, mulai dari: membuat materi pembinaan, laporan, rapat, koordinasi, hingga menerima tamu dari Indogetjob, sebuah aplikasi berbasis web, yang berguna sebagai assessment untuk melihat potensi dan psikologi siswa.
Sebelum berangkat, berbagai macam kebutuhan dan logistik kami siapkan, seperti: makanan, minuman, pakaian, perlengkapan mandi, buku bacaan, termasuk layangan. Ladit tampak girang dan bersemangat membantu saya memindahkan barang-barangnya ke bagasi mobil.
"Yah, saya sekarang bantu ayah, ya?" ucapnya.
"Ok, bos. Sip" Saya membalasnya agar lebih semangat.Â
Kami berangkat dari rumah setelah salat asar dan menuju Ongis Store yang berada di jalan Efendi, Kepanjen, untuk menyewa tenda dan perlengkapan lainnya. Sayangnya, kompor gas mini outdoor-nya sudah rusak dan kami harus mencarinya ke tempat lain.
Kami bergegas menuju Q-Ronn di jalan Sidotopo, desa Dilem. Lokasinya tak jauh dari pusat kota Kepanjen, cukup ditempuh 5 sampai 10 menit. Alamak, rumah yang juga terpampang papan "Bidan" itu, gerbangnya tertutup rapat.
Kami tidak putus asa. Lantas, saya memberi tugas istri untuk mencari di Google.
"Ini ada, Yah!"
"Namanya apa?"
"Rinjani Camp"
"Ok. Sip! Di mana lokasinya?"
"Banjarejo, Pagelaran"
"Siap, Bosque!" sahutku (berlaga youtuber papan atas, Baim Wong)
Sesampainya di tempat tujuan, lagi-lagi si empunya baru saja meninggalkan rumah. Bisa dibayangkan bukan, betapa berharganya kompor gas mini outdoor saat itu?
Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Masuk desa Srigonco, Canteland Persewaan Tenda menjadi tujuan kami berikutnya. Nahas! Tidak ada satupun petunjuk papan nama di titik koordinat yang kami dapatkan dari Google Maps.
Saya memutuskan untuk melupakan kompor itu dengan membuangnya jauh-jauh dari benakku.
Derasnya hujan dan gelapnya hutan menemani perjalanan kami. Kondisi macet akibat arus balik serta badan jalan yang sempit, membuat saya harus ekstra hati-hati. Jalan menuju pantai benar-benar penuh sesak dari kendaraan roda empat dan roda dua.
Komunitas Offroad, Pickup, Vespa, Honda 80, RX-King dengan suara bisingnya, hingga sikap angkuh saling serobot untuk menguasai marka jalan, acap kali menggangu konsentrasiku mengendalikan kemudi Suzuki Baleno keluaran 97' itu.
Keseimbangan kaki menginjak pedal gas, kopling, dan rem, sementara tangan bertugas mengatur tuas perseneling dan setir menjadi modal utama mengatasi jalanan yang zig-zag dan menanjak.
Sesekali saya meminta istri untuk menjadi kernet dadakan, semenjak ban sebelah kiri jatuh dari aspal. Sebab, bila itu terjadi lagi akan membahayakan mobil jenis sedan seperti milik saya. Beruntung, mesinnya yang berkapasitas 1.600 cc dengan 4 silinder itu, masih cukup tangguh meski usianya tak lagi muda.
Setibanya di pintu gerbang pantai pukul 06.00 petang, suasana tampak lengang. Namun, sampah tampak berserakan seperti usai pergeleran konser musik atau karnaval agustusan.
Saat hujan mulai reda, pertanda tenda harus segera terpasang. Saya yang tidak berpengalaman memasang tenda, dengan percaya diri mencoba merakitnya. Sekalipun saya pernah ikut pramuka saat duduk di bangku Tsanawiyah, entah kenapa kegiatan perkemahan selalu gagal dilaksanakan.
Beruntung, istri memiliki sedikit pengalaman memasang tenda. Ia pernah ikut kegiatan perkemahan di Coban Rondo beberapa bulan lalu. Penyelenggaranya adalah Ikatan Guru Raudlatul Athfal (IGRA) Kabupaten Malang.
Pengalamannya itu sangat membantu di saat waktu yang tepat. Dari sini saya tahu alasannya, kenapa tadi di perjalanan ia tidak mengindahkan amaran saya untuk melihat tutorial memasang tenda di Youtube.
Tidak butuh waktu lama, keduanya tidur sangat lelap. Suasana semakin sepi saat gemercik air hujan mulai turun untuk kesekian kalinya. Rencana membuat api unggun gagal total.
Saya hendak melakukan salat isya sekitar pukul 22.30 WIB. Tampak seorang ibu dan tiga anaknya mengambil air wudu. Dari awal, saya memprediksi bahwa keluarga tersebut adalah orang baik. Meski berlibur, mereka tidak lupa dengan keawajiban lima waktunya.
Dugaan saya diperkuat ketika ibu paruh baya itu terlihat membayar delapan ribu rupiah sebagai ongkos sewa kamar mandi untuk dirinya dan ketiga anaknya hanya untuk sekali berwudu.
Pemilik kamar mandi itu juga tidak kalah baik. Sebab, ia mengaggap ongkosnya terlalu banyak dan ia hanya mengambil separuhnya.
Saya tidak berhenti memperhatikan keluarga itu. Mereka tampak berjamaah di musala. Anak sulung bertindak menjadi imam di depan ibu dan kedua adiknya. Saya menjadi makmum masbuk karena terlambat satu rakaat. Usai berjamaah, secara bergantian anak-anak itu bersalaman mencium tangan ibu. Pemandangan ini tentu sangat menyejukkan, bukan?
Karena saya ingin menikmati suasana malam di pesisir pantai, saya tidak terburu-buru rihat. Kembali saya memesan kopi di warung yang sama.
Saya adalah penikmat kopi panas. Aroma asap, ditambah sentuhan panas, serta bunyinya yang khas memiliki sensasi yang sulit untuk tidak diseruput berulang-ulang. Piatos rasa iga penyet dan permainan Pool Billiards melengkapi quality time-ku malam itu.
Pagi harinya, saya membaca WhatsApp dari seorang teman yang menanyakan keadaan saya. Kabarnya terjadi gempa sekitar pukul 03.00 WIB, dini hari. Karena terlelap, kami tidak tahu kalau telah terjadi gempa.
Dari situ, saya dibebani rasa penasaran dengan pengelolaan kebersihan di pantai ini. Sampai kapan sampah itu akan dibiarkan, bagaimana cara petugas membersihkan sampah di hamparan pasir yang sangat luas itu, dan seberapa banyak tempat sampah yang disediakan oleh pengelola?
Oleh karena sampah ini benar-benar merusak pemandangan dan lingkungan di sekitar tenda, serta baunya yang cukup tajam, kami pun memunguti satu-persatu dan memindahkan ke tempat yang semestinya.
Sebetulnya kami sangat malas, bukan karena malas untuk membantu petugas kebersihan, tetapi malas pada perilaku pengunjung sebelumnya yang nyampah seenaknya, ditambah para penjual yang seakan lepas tangan terhadap kondisi lingkungan.
Tong sampah berwarna biru bertuliskan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Malang tak cukup mampu menampung tumpukan sampah sisa makanan.
Pukul 07.30 WIB, tampak tiga orang petugas kebersihan melakukan tugasnya. Saya ikut senang, meski jumlahnya tak sebanding dengan luasnya hamparan pantai Balekambang.
Setelah menyeduh kopi dan mi goreng sebagai menu sarapan pagi, rombongan keluarga besar kami menyusul dengan membawa Elf tipe long, Kijang Krista, dan Honda Stream. Kedatangan saudara dan ponakan menambah kemeriahan saat itu.
Setelah puas mandi di pesisir pantai menikmati deburan ombak, kami pun berdoa terkhusus untuk Tazyinul Qolbi (kemenakan istri) tepat di hari ulang tahunnya yang ke-9. Usai makan dan berfoto menggunakan peranti elektronik, semuanya kompak membersihkan sisa-sisa makanan dan membuangnya ke tempat sampah. Kami pun pulang usai melakukan salat asar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H