Saya adalah penikmat kopi panas. Aroma asap, ditambah sentuhan panas, serta bunyinya yang khas memiliki sensasi yang sulit untuk tidak diseruput berulang-ulang. Piatos rasa iga penyet dan permainan Pool Billiards melengkapi quality time-ku malam itu.
Pagi harinya, saya membaca WhatsApp dari seorang teman yang menanyakan keadaan saya. Kabarnya terjadi gempa sekitar pukul 03.00 WIB, dini hari. Karena terlelap, kami tidak tahu kalau telah terjadi gempa.
Dari situ, saya dibebani rasa penasaran dengan pengelolaan kebersihan di pantai ini. Sampai kapan sampah itu akan dibiarkan, bagaimana cara petugas membersihkan sampah di hamparan pasir yang sangat luas itu, dan seberapa banyak tempat sampah yang disediakan oleh pengelola?
Oleh karena sampah ini benar-benar merusak pemandangan dan lingkungan di sekitar tenda, serta baunya yang cukup tajam, kami pun memunguti satu-persatu dan memindahkan ke tempat yang semestinya.
Sebetulnya kami sangat malas, bukan karena malas untuk membantu petugas kebersihan, tetapi malas pada perilaku pengunjung sebelumnya yang nyampah seenaknya, ditambah para penjual yang seakan lepas tangan terhadap kondisi lingkungan.
Tong sampah berwarna biru bertuliskan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Malang tak cukup mampu menampung tumpukan sampah sisa makanan.
Pukul 07.30 WIB, tampak tiga orang petugas kebersihan melakukan tugasnya. Saya ikut senang, meski jumlahnya tak sebanding dengan luasnya hamparan pantai Balekambang.
Setelah menyeduh kopi dan mi goreng sebagai menu sarapan pagi, rombongan keluarga besar kami menyusul dengan membawa Elf tipe long, Kijang Krista, dan Honda Stream. Kedatangan saudara dan ponakan menambah kemeriahan saat itu.
Setelah puas mandi di pesisir pantai menikmati deburan ombak, kami pun berdoa terkhusus untuk Tazyinul Qolbi (kemenakan istri) tepat di hari ulang tahunnya yang ke-9. Usai makan dan berfoto menggunakan peranti elektronik, semuanya kompak membersihkan sisa-sisa makanan dan membuangnya ke tempat sampah. Kami pun pulang usai melakukan salat asar.