Selain itu Idris sepertinya juga tidak membangun karakter tokoh Udin dalam monolog tersebut. Â Sebagai penonton saya masih melihat Idris Pasaribu. Â Namun tak ada bocoran apakah tokoh Udin dalam monolog yang dimainkan di Studio Kosambi itu adalah dirinya sendiri.
Nyaris tak terbaca sebuah monolog dengan setting waktu tahun 65 an. Â Idris hanya menggambarkannya lewat musik twist yang memang lagi hits di tahun itu dan rekaman suara orang menyebut-nyebut PKI melalui sound. Bahkan kostum pun mencelakai monolog tersebut. Bagaimana korelasi sebuah kaos bertuliskan "Studio Kosambi" dengan pertunjukan itu? Juga dengan institusi pekerja di studio yang terletak di Jalan Palembang Binjai yang juga memakai kaos yang sama?
Kita nyaris terjerumus kepada pembacaan yang absurditas. Â Maka Tsi Taura membacanya dengan menyebut apa yang dilakukan Idris Pasaribu dengan penjungkirbalikan realisme. Kurang tepat dengan situasi budaya, sosial dan pendidikan. Pertunjukan realis tapi mengabaikan realitas yang ada.
Realitas seperti apa yang coba dibaca oleh Tsi Taura yang sekaligus sebagai pihak penyelenggara pentas monolog tersebut? Sebuah realitas mungkin adalah kenyataan dimana antara realitas di atas panggung tidak sama dengan realitas peristiwa. Â Artinya Idris Pasaribu bermain pada wilayah yang mungkin tidak realistis saat dibenturkan pada realitas yang ada di panggung. Â
Tetapi realitas bahwa hidup adalah panggung itu berada pada titik penyadaran diri. Â Kenyataan bahwa hidup adalah sandiwara itu sendiri. Suharti telah menjadi masa lalu yang menyakitkan di negeri ini adalah sebuah realitas namun sekaligus merupakan absurditas. Â Sebab antara realitas Suharti dan Suharto itu menjadi kabur.
Mungkin realitas yang juga kabur adalah setting yang dibebaskan dengan beberapa buah level dan sebuah mirip meja. Â Tetapi terkadang juga menjadi kursi. Kita nyaris tidak mampu membaca peristiwa itu terjadi pada masa silam. Â Masa kegelapan negeri ini. Masa-masa absurditas itu. Gelap dan kejam. Â Realitas itu digambarkan dengan tarian twist yang gembira ria. Kita seperti diajak untuk bersenang senang namun ternyata Idris ingin mengambarkan sebuah kekejaman yang sungguh tragis.Porman Wilson juga menangkap sebuah peristiwa panggung yang energik dari tubuh aktor gaek. Â Stamina yang masih dapat diandalkan dari aktor yang berusia 60 an itu. Dan adegan terakhir yang menggugah. Selebihnya aktor tidak dapat terbaca sebagai sebuah teks-teks yang mempunyai korelasi pada tubuh tokoh-tokoh dalam monolog Sabtu (8/8) itu.
Namun begitu Studio Kosambi patut diacungi dua jempol. Â Dalam dua kali pertunjukan kita melihat realitas kesenian yang mulai dibangun. Â Misalnya lighting yang sudah memadai. Â Korelasi korelasi ini menjadi energi positip, Â dalam kesenian yang terbentuk di tengah masa pandemi ini.
Energi berkesenian yang dibangun Kosambi menjadi tenaga baru.  Sejarah akan mencatat,  betapa pentingnya sebuah panggung kesenian itu.  Yang sejak zaman  Walikota AS Rangkuti hingga Plt Ahkyar Nasution masyarakat seni di Sumatera Utara atau Medan,  belum pernah merasakan bagaimana mempunyai gedung pertunjukan yang representatif itu.
Tetapi era terus bergulir. Â Sumut tertinggal jauh dengan kora-kota lain. Â Bahkan kota kecil sekelas Mataram Lombok Barat saja sudah mempunyai gedung yang nyaman. Â Dengan peralatan panggung yang sangat memadai walau tak bisa dikatakan canggih.
Di kota-kota besar lainnya seperti Jogya, kantong-kantong kebudayaan itu justru tumbuh subur. Â Kantong-kantong itu seperti malakukan perlawanan terhadap kemapanan panggung. Â Atau melahirkan keanehan dalam melakukan hubungan-hubungan intim antara objek dan subjek yang menjadi realitas lain dalam sebuah peristiwa teater.