Sebagai manusia kebudayaan yang harus menyebarkan energi baik, aku terus mancari dan gelisah untuk tidak menghukum siapapun yang telah berbuat baik. Â
Pementasan Roy Julian, Â Jumat, (17/1/2020) malam di rumahnya, telah membuat aku menjadi orang yang merasa harus dipuaskan dengan pertunjukan Anton Chekov malam itu. Ini sungguh keterlaluan.
Usai menonton pertunjukan itu yang digelar dalam konsep "Home Teater" (Teater Rumah) di Kompleks Perumahan Nusa III, 24, Tuntungan, Deliserdang, digelar diskusi. Sangat unik kesimpulan dari diskusi itu, Â yakni, Roy Julian bermain sangat bagus namun "tak enak" ditonton.
Keadaan ini sungguh membuat saya mengalami semacam kebingungan lantaran tak habis mengerti. Mengapa akting sebagus itu bisa menimbulkan efek semacam kekecewaan pada penonton. Kecewa lantaran ada sepersekian rasa di dalam diri penonton yang tak terpenuhi.
Rasa yang hilang ini yang membuat penonton yang terdiri dari, seniman, wartawan dan aktivis ini menjadi "uring-uringan". Mereka menuntut, Â dengan berbagai permintaan. Â Permintaan agar rasa yang hilang dalam dirinya itu, dapat terpenuhi.
Itulah penonton! Anton Chekov dapat membidiknya dengan tepat pada karyanya "Nyanyian Angsa" yang ditulisnya pada masa kejayaannya. Mungkin Chekov ingin menelanjangi keduanya, Â aktor dan penonton. Di satu sisi aktor gaek, Â pensiunan yang kesepian. Seakan-akan para pejabat yang pada masa jayanya dirubungi bagai gula, Â tetapi setelah pensiun kesepian.
Saya lebih menangkap, justru sedikit berbeda. Â Saya lebih melihat kepada Anton Chekov yang memang secara realitas menelanjangi kedua elemen ini. Â Yakni Aktor dan Penonton. Aktor baik tua maupun muda, Â memang akan ditinggal penontonnya usai pertunjukan. Â Penonton dengan sangat kejam meninggalkan aktor di panggung setelah memberinya tepukan tangan dan bunga bunga.
Begitu juga dengan Vasili Svietlovidoff, tokoh utama dalam naskah drama "Nyanyian Angsa" yang malam itu di perankan oleh Roy Julian atau Julian Hakim, seorang aktor dari Kantor Teater.
Dalam cerita naskah berdurasi 45 menit itu, Â Anton Chekov bercerita tentang, Â seorang aktor yang tiba tiba mendadak kesepian. Â Sakit berat dan paham betul kalau kematiannya akan tiba.
Kesepian yang menyergap dirinya itu dia lontarkan saat dirinya tersesat di panggung dengan sebotol bir dan sebotol anggur. Â Tertidur lantaran mabuk berat di kamar ganti pakaian. Â Lalu sadar dan menyeracau dengan sisa bir di tangannya.
Dia juga bercerita dengan datar tentang nasib dirinya sebagai seorang badut panggung, yang terkadang menghayalkan mendapat peran-peran besar dari pengarang-pengarang besar seperti William Shakespeare dan berperan menjadi, Hamlet serta beberapa lainnya.
Itu adalah kekonyolan dirinya. Â Dan Chekov seolah-olah menelanjangi aktor-aktor gaek yang kemudian ditinggal begitu saja oleh penontonnya setelah gemuruh tepuk tangan dan bunga bunga.
Aku tak tahu apakah aktor sebagus Roy Julian bisa kehilangan energi sebuah pertunjukan? Â Rasanya tidak mungkin. Â Tapi Chekovlah yang ingin membalas dendam itu. Â Dendam kepada penonton yang suka meninggalkan aktor kesayangannya begitu saja dengan segala problematika kehidipannya. Â Sakit, terbuang, Â miskin dan kesepian.
Lalu apakah penonton boleh dengan seenaknya pulang ke rumah dengan segala kenangan manis itu? Â Kenangan manis saat menonton aktor bermain dengan sangat mempesona. Bahkan pada kasus "home teater" di rumah pasangan seniman ini, Â (Dini Usman dan Roy Julian) penonton diberi makan, Â kopi dan gratis. Lalu pulang dengan kebahagiaan?? Â Aku rasa bukan itu yang diinginkan Chekov pada "Nyaian Angsa".
Nyanyian Angsa sepertinya sengaja dibuat agar penonton benar-benar merasakan betapa menyiksanya kesepian itu, Â kegelisahan itu, Â perasaan tak enak itu, Â mual, muak, Â mengutuk dan seribu perasaan tak menyenangkan yang dirasakan aktor saat penonton pulang dan membawa berbagai impresi indah lalu tidur nyenyak di rumah mereka masing-masing.
Dan dalam kegelisahan di mana aku mulai diajarkan untuk terus bersyukur dan berpikir sehat terhadap orang terutama yang telah berbuat baik. Â
Terus terang Mamex dan Roy (Kantor Teater) justru banyak mengajari hal itu. Â Bukan mengajari barangkali, tetapi menjaga kesadaran ku sebagai mahkluk yang bergelut di dunia kebudayaan, kesenian dan teater.
Kehadiran ku sebagai penonton malam itu ikut hanyut pada derasnya ombak di dalam diri penonton yang seperti mengalami kesepian setelah menonton pertunjukan itu. Duh!
Penonton yang tidak orgasme ini yang kemudian menjadi semacam kegelisahan dan menuntut Roy dengan berbagai keinginan. Â Yang kesemuanya itu, Â mengarah pada sebuah tuntutan agar aktor dapat memuaskan dirinya (penonton, red) .
Inilah yang terus mengganggu kepala saya. Yang secara sadar menyaksikan Roy Julian bermain dengan power full, seperti kata Hadi Ra (salah seorang peserta diskusi), Â namun di sisi lain tak memuaskan penonton.
Jika dicerna lebih dalam, ini ada distorsi dari sebuah tatanan peristiwa dramaturg. Â As Atmadi mengatakan aktor terlalu patuh pada naskah. Â Sehingga tidak membangun komunikasi yang baik antara "tamu" dan "tuan rumah". Bahasa yang kemudian lancar diucapkan aktor tak mampu menembus ruang-ruang kosong didalam diri penonton yang juga sebagai tamu.Â
Distorsi ini yang kemudian menjadi jejanggalan dalam mengupas sisi-sisi lain dari naskah "Nyanyian Angsa" ini. Â Keganjilan yang tidak terasa justru sebuah keberhasilan Roy dalam menyalurkan segala energi Chekov kepada situasi yang tidak mengenakkan hubungan anatara penonton dan aktor. Â Ada apa sebenarnya terjadi??
Ruang kesadaran seperti ini sepertinya disengaja oleh Anton Chekov. Â Dia (Chekov) sepertinya ingin membalik ruang hampa di dalam diri para aktor yang mengalami nasib malang ditinggal penontonnya. Â Sendiri dalam gedung, Â sepi, Â gelap bahkan merinding, Â dingin dan akhirnya bisa saja, Â mati di atas panggung.
Menurut catatan tak ada aktor yang bisa memberikan ruh ke dalam tokoh Vasili Svietlovidoff, sehingga dia menjadi hidup. Â Tokoh ini seperti seseorang yang telah mati dalam kehidupannya. Sehingga apapun yang dikatakannya adalah ceracau panjang yang nyaris tak mampu menjelaskan apa-apa pada penontonnya. Tetapi itulah yang mungkin disengaja oleh pengarangnya.
Anton Chekov sepertinya ingin membalik suasana hati Vasili Svietlovidoff menjadi suasana hati penonton. Â Itu makanya setiap kali menonton "Nyanyian Angsa" penonton menjadi gelisah lantaran tak mendapatkan apa-apa. Â Tak "orgasme" mengalami kegersangan, kenak tanggung (kentang), Â tak terpuasi dan akhirnya kecewa. Â Bukankah perasaan itu yang dialami Vasili Svietlovidoff?? Allahualam bi syowab. Kita hanya bisa menebak-nebak.
Home Teater
Home teater kini menjadi semacam trend baru dalam era seni pertunjukan saat ini. Â Teater terutama realis yang biasanya dimainkan di gedung-gedung teater yang agung dan mewah, Â kini dimainkan di rumah. Â Di ruang tamu. Â Mesra dan intim.
Begitu juga peristiwa teater yang terjadi di rumah pasangan seniman yang terbilang unik dan nyentrik ini. Dini Usman mengatakan adalah cita-citanya untuk menjadikan rumahnya sebagai kegiatan berkesenian atau menjadi semacam kantong-kantong budaya. Itu sungguh sebuah harapan yan mulia.
Semula penonton diundang melalui ruang-ruang pribadi elektroniknya dengan bahasa yang sangat khusus. Dini memang sengaja membatasi jumlah penonton dengan angka 17. Dimana ini merupakan angka yang mempunyai hubungan khusus pada diri kedua seniman ini. Â Dan kita yang kurang terbiasa merasa sedikit terganggu.
Tetapi setelah kita berada di rumah pertunjukan itu, Â yang kita dapatkan adalah sebuah kenyataan dimana tuan rumah justru terasa sangat ramah pada tamu-tamunya. Dini juga mengajarkan agar hidup disiplin itu penting. Walau kita bangsa Indonesia belum terbiasa. Â Kita lebih kepada pola hidup nyantai dan maklum.
Begitulah, Â sebelum pertunjukan dimulai, Â penonton dimanjakan dengan suguhan makan malam. Meski Dini tak mengatakannya, Â tetapi ini bisa saja sebagai syukuran satu tahun perkawinan mereka. Baru kemudian pertunjukan akan dimulai dan kita sebagai penonton yang juga tamu diperkenalkan satu sama lain. Tidak lantas menjadi akrab memang. Â Tetapi setidaknya kita di situ telah saling bertatap muka, Â duduk berdekatan dan salung bertukar aroma parfum atau bau tubuh-tubuh sesama kita, Â penonton. Â Ini sungguh memberikan rasa bahagia tersendiri.
Kemudian saat pertunjukan benar-benar dimulai, kita mendengar suara parau, berat dan batuk seperti dada yang terbakar dari arah dapur. Â Saya mengharapkan, Â semua lampu dimatikan saja untuk adegan yang sangat magis seperti itu. Â Gelap dan kemudian Dia keluar dengan sebatang lilin dan sebotol bir. Â Terhuyung sambil memaki-maki penjaga gedung teater dengan kata, pukimak.
Tetapi tidak begitu.
Dia keluar dan lampu ruang tamu menyala terang. Berpakaian badut warna garis-garis merah dengan sisa make up badut yang membuat wajahnya tampak bloon.
Teater rumah sebagai sebuah alternatif atau perlawanan terhadap gentingnya kondisi teater saat ini mungkin bisa menjadi jembatan antara penonton yang malas datang ke gedung pertunjukan. Â Roy Julian juga pernah mengatakan untuk mencairkan kebekuan hubungan antara teater dan penontonnya, Â maka tak ada salahnya kalau teater bergerak menyambangi rumah-rumah mereka dan mencoba untuk menyatakan bahwa "kita bersaudara".
Kemudian apakah Home Teater mampu menjadi perlawanan terhadap "terbunuhnya" direktorat kesenian dimana teater merupakan korban dari kriminalisasi "mereka". Jika kelak teater telah benar-benar tak berdaya, Â gedung-gedung teater dimusnahkan karena dianggap tak penting, Â maka rumah bisa jadi, menjadi tempat yang strategis untuk membangun hubungan antar teater dan penontonnya.
Teater Rumah boleh jadi tak perduli seberapa banyak penonton bisa diajak masuk ke dalam diri mereka sendiri untuk waktu beberapa menit. Melupakan kepenatan hidup, setelah seharian bergelut dengan berbagai rutinitas hidup.
Pertanyaanya, apakah ruang tamu mampu merebut fungsinya sebagai ruang perjumpaan yang harmonis, bermanfaat untuk ilmu pengetahuan, pergumulan perbincangan yang tidak mengalami distorsi publik. Melahirkan gagasan-gagasan yang baik untuk membangun kebudayaan atau sekedar membangkitkan kenangan-kenangan yang menyadarkan bahwa kita masih layak disebut manusia. Dihargai, diberi ruang yang cukup tidak seperti Vasili Svietlovidoff yang tua, miskin dan kesepian ditinggal audiensnya. Â
Begitu juga Burhan Polka yang mementaskan "Keok" adaptasi bebas Imran Pasaribu yang juga dari "Nyanyian Angsa" Anton Chekov, Â di pentaskan di Gedung Taman Budaya Sumut, Â 18 Januari 2020. Dia juga mengalami perasaan itu, Â tua dan tinggalkan. Begitulah hidup! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H