Hal-hal tersebut adalah upaya mendeligitimasi Pemerintah & ketidakmampuan aparat dalam rangka menggenapi skenario “keresahan, ketakutan di masyarakat”. “Pemerintah tidak dapat menjamin keamanan mantan presiden apalagi warga biasa”.
Target minimal dari penciptaan isu ketakutan tersebut, maka akan muncul opini warga DKI Jakarta butuh figur yang memberikan rasa aman.
Apakah hanya berhenti sampai disitu?
Tulisan ini tidak sedang menuduh atau menghakimi SBY akan menghalkan segala cara demi buah hatinya duduk di balaikota. Tapi melihat beberapa indikasi yang telah dilakukan Tim AHY, pertaruhan SBY di 2019, harga yang harus dibayar pensiun dini Mayor Agus. Serta melihat perhelatan-perhelatan kampanye AHY yang serba mewah, menunjukkan support dana yang tak terbatas, SBY berpotensi tidak berhenti sampai pada rasa takut masyarakat.
Rangkaian selanjutnya dari strategi pamungkas yaitu perpaduan politik uang dan preman. Fakta di Pilkada serentak 2015, cara ini terbukti efektif memenangkan pasangan yang sama sekali tidak diunggulkan. Dan bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh kandidat manapun di Pilkada serentak 2017.
Bagaimana mekanismenya?
Pada Pilkada serentak di 2015 terjadi kolaborasi antara konsultan politik, tim sukses, oknum RT/RW dan preman mulai dari level preman kampung hingga preman kota dalam pemenangan calon.
Konsultan politik melakukan pemetaan wilayah. Dan tim sukses memasang target perolehan suara pada wilyah yang telah ditentukan.
RT/RW bertugas antara lain: Pertama, membangun opini di masyarakat akan perkembangan terkini. Situasi gonjang-ganjing politik, kerawanan potensi kerusuhan dan lain-lain. Maka menjadi skala prioritas masyarakat adalah “kebutuhan akan rasa aman”. Kedua, melindungi dan memuluskan aksi tim sukses & preman kampung melakukan aksi gerilya door to door.
Antar preman pun saling mengintimidasi secara berjenjang. Dari level Kota, kecamatan, kelurahan, hingga preman kampung yang bertugas mengintimidasi warga sekaligus eksekutor politik uang, agar perolehan suara sesuai dengan target.