Pilgub DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Strategi mendegradasi elektabilitas petahana melalui berbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari isu penistaan agama dengan lebaran kuda hingga upaya mengadu domba AHOK dengan NU. Semua telah gagal. Elektabilitas sang putra mahkota tidak beranjak menggembirakan. Maka tidak ada jalan lain untuk memenangkan AHY adalah memainkan strategi pamungkas.
Melalui cuitan-cuitan Tim AHY seperti Ulil Absar Abdala, Rachlan Nasidik dan lain-lain tidak lagi bicara program tapi melakukan propaganda dengan isu “keamanan”. Hal ini untuk menciptakan ketakutan & keresahan di masyarakat bahwa ada ancaman potensi perpecahan, kerusuhan yang disebabkan oleh seseorang.
“Saudara-saudaraku yg mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan "digrudug" ratusan orang. Mereka berteriak-teriak. *SBY*”
“Kecuali negara sudah berubah, Undang-Undang tak bolehkan unjuk rasa di rumah pribadi. Polisi juga tidak memberitahu saya. *SBY*”
“Kemarin yg saya dengar, di Kompleks Pramuka Cibubur ada provokasi & agitasi thd mahasiswa utk "Tangkap SBY". *SBY*”
“Saya bertanya kpd Bapak Presiden & Kapolri, apakah saya tidak memiliki hak utk tinggal di negeri sendiri,dgn hak asasi yg saya miliki? *SBY*”
“Saya hanya meminta keadilan. Soal keselamatan jiwa saya, sepenuhnya saya serahkan kpd Allah Swt. *SBY*”
SBY adalah seorang Jenderal pernah menjabat Kaster ABRI, mantan presiden yang kini kesehariannya pun masih dikawal oleh Paspampres. Sangat tidak masuk akal jika SBY merasa terancam jiwanya didemo oleh segelintir massa. Jika dicermati dengan seksama, cuitan SBY jelas memiliki tujuan. Bukan semata-mata ‘baper’ & “playing victim”.
Kesengajaan SBY cuitannya ditujukan kepada presiden & kapolri dibuat cermat dengan sengaja nampak “wagu dan konyol” agar menjadi viral di media dan dibicarakan seantero jagad maya serta masyarakat Indonesia.
Kemudian disusul pernyataan-pernyataan Tim sukses AHY, seperti Rachland Nasidik: “Rumah SBY Digeruduk Massa, Demokrat: Di Mana Aparat?, Didik Mukrianto Demokrat: Apa yang Terjadi dengan Kepolisian Kita? Disusul berikutnya muncul di twitter tagar #JokowiKalangKabut.
Hal-hal tersebut adalah upaya mendeligitimasi Pemerintah & ketidakmampuan aparat dalam rangka menggenapi skenario “keresahan, ketakutan di masyarakat”. “Pemerintah tidak dapat menjamin keamanan mantan presiden apalagi warga biasa”.
Target minimal dari penciptaan isu ketakutan tersebut, maka akan muncul opini warga DKI Jakarta butuh figur yang memberikan rasa aman.
Apakah hanya berhenti sampai disitu?
Tulisan ini tidak sedang menuduh atau menghakimi SBY akan menghalkan segala cara demi buah hatinya duduk di balaikota. Tapi melihat beberapa indikasi yang telah dilakukan Tim AHY, pertaruhan SBY di 2019, harga yang harus dibayar pensiun dini Mayor Agus. Serta melihat perhelatan-perhelatan kampanye AHY yang serba mewah, menunjukkan support dana yang tak terbatas, SBY berpotensi tidak berhenti sampai pada rasa takut masyarakat.
Rangkaian selanjutnya dari strategi pamungkas yaitu perpaduan politik uang dan preman. Fakta di Pilkada serentak 2015, cara ini terbukti efektif memenangkan pasangan yang sama sekali tidak diunggulkan. Dan bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh kandidat manapun di Pilkada serentak 2017.
Bagaimana mekanismenya?
Pada Pilkada serentak di 2015 terjadi kolaborasi antara konsultan politik, tim sukses, oknum RT/RW dan preman mulai dari level preman kampung hingga preman kota dalam pemenangan calon.
Konsultan politik melakukan pemetaan wilayah. Dan tim sukses memasang target perolehan suara pada wilyah yang telah ditentukan.
RT/RW bertugas antara lain: Pertama, membangun opini di masyarakat akan perkembangan terkini. Situasi gonjang-ganjing politik, kerawanan potensi kerusuhan dan lain-lain. Maka menjadi skala prioritas masyarakat adalah “kebutuhan akan rasa aman”. Kedua, melindungi dan memuluskan aksi tim sukses & preman kampung melakukan aksi gerilya door to door.
Antar preman pun saling mengintimidasi secara berjenjang. Dari level Kota, kecamatan, kelurahan, hingga preman kampung yang bertugas mengintimidasi warga sekaligus eksekutor politik uang, agar perolehan suara sesuai dengan target.
"Terima uangnya, jangan pilih orangnya". Adalah kegagalan politik uang tanpa peranserta preman. Seringnya terjadi ketidakpastian penerima politik uang atau penerima komitmen belum tentu memilih calon tersebut. Maka tim berikutnya turun. Yaitu Tim preman yang bertugas memastikan dengan “mengintimidasi” warga yang telah menerima uang atau komitmen untuk jangan coba-coba merubah pilihannya pada hari pencoblosan.
Keresahan & ketakutan warga yang telah terbentuk, opini aparat tidak dapat menjamin keamanan akan mempengaruhi keputusan warga. Pertimbangan ikut ajakan preman kampung, selain merasa aman juga mendapatkan imbalan sesuatu.
Pada hari H pencoblosan, Tim preman dengan pasang wajah sangar berada pada lokasi TPS masing-masing untuk menjemput, mengabsen, mengawal dan memastikan ulang penerima uang itu tidak akan merubah pilihannya. Cara ini terbukti efektif dan telah berhasil memenangkan calon yang tidak dikenal sama sekali oleh masyarakat.
Semoga, SBY dan mungkin calon-calon pilkada yang lain diseluruh Indonesia hanya berhenti pada membangun opini, masyarakat butuh rasa aman. Tidak dilanjutkan pada politik uang dan intimidasi warga menggunakan jasa preman. Karena hal ini jelas akan merusak demokrasi Indonesia sebagai ajang, wahana untuk memilih pejabat yang jujur & bersih.
Jika niatnya suci untuk membangun bangsa, mengapa sebuah jabatan harus didapatkannya dengan cara keji, culas dan curang.
Agar terwujud demokrasi yang sehat dan semakin berkualitas. Perhatikan gerak-gerik RT/RW dan pergerakan preman lokal selama minggu tenang. Tidak ada pilihan lain. Jangan takut! Lawan kecurangan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H