Mohon tunggu...
Badiyo
Badiyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger, Content Creator

Seneng baca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Solusi Atasi Kemacetan Saat Arus Mudik

9 Juli 2016   10:36 Diperbarui: 9 Juli 2016   10:51 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan pulang dari acara Wisuda dan Khotmul Qur’an SD Islam Al Syukro Ciputat akhir Juni 2016 lalu, saya yang membonceng motor teman terjebak macet di jalan. Perjalanan dari Gedung P4TK Bojongsari Depok menuju SD Islam Al Syukro Ciputat yang biasa ditempuh 15 – 20 menit, saat itu harus ditempuh sekitar satu jam. Titik kemacetan berada di peremptatan Gaplek Pamulang – Tangerang Selatan.

Dalam perjalanan di tengah kemacetan itu, teman saya  Ustad Henrizal Saidi, M.Ag. mengatakan bahwa ini juga merupakan bagian dari Kiamat Kecil. “Coba saja kita lihat depan, kanan dan kiri kita, semua orang saling berebut jalan. Bagaimana kalau ada seorang Ibu yang mau melahirkan, atau ada orang sakit atau kecelakaan yang membutuhkan pertolongan cepat dan harus segera sampai ke rumah sakit? ” kata Ustad Rizal.

Sebagai orang awam saya mengucap, ya, ya, ya sambil manggut-manggut, walaupun tidak ada yang lihat kalau saya manggut-manggut. Kemudian saya menanggapi: “Dan kondisi kemacetan seperti ini ke depan akan semakin parah. Bagaimana tidak, coba kalau setiap hari di Tangerang Selatan ada satu orang yang seperti Mr. T,” kata saya sambil bercanda disambut tawa Ustad Rizal.

Mr. T adalah seorang teman kantor yang baru saja membeli mobil baru. Ya, bayangkan kalau di Tangsel setiap hari ada satu orang saja yang beli mobil baru. Taruhlah di Jabodetabek satu hari kira-kira ada 5 orang saja yang beli mobil baru. Satu bulan bulan ada 150 mobil baru di Jabodetabek. Jadi satu tahun? Itu hanya kira-kira saya saja karena saya belum sempat mencari data yang pasti. Bisa jadi angkanya lebih dari itu. Dan saya yakin lebih dari itu.

Coba perhatikan di lingkungan kita, tetangga kanan, kiri depan, belakang, atau juga teman-teman di kantor. Apakah ada saja orang-orang yang membeli mobil baru? Sekali-kali kita coba iseng perhatikan dan amati, tempat parkir atau lapangan RW yang dijadikan tempat parkir di lingkungan kita tinggal, apakah terlihat kosong seperti dulu atau semakin penuh dengan mobil-mobil baru?

Melihat fakta dan realita seperti itu, maka tak heran jika jalan-jalan di Jabodetabek setiap hari terlihat semakin macet saja. Saat menjelang hari raya Idul Fitri 1437 H di mana ada ritual mudik, maka kemacetan bergeser dari Jabodetabek ke jalan-jalan jalur mudik. Pemerintah sudah mengupayakan mengatasi hal itu dengan dibangunnya Tol Cikampek – Palimanan (Cipali). Bahkan sudah nyambung dari Palimanan (Cirebon) hingga Pejagan (Brebes). Namun kenyataanya kemacetan tetap saja terjadi bahkan semakin parah.

Saya sendiri sebagai salah seorang Mudikers sudah memprediksi kemacetan seperti ini sejak tiga tahun lalu. Saat saya balik ke Jakarta pada Idul Fitri 1435 H (Tahun 2014) lalu saya mengalami kemacetan yang amat parah. Saya berangkat dari Klampok – Banjarnegara -kampung saya sendiri Kembangan – Bukateja – Purbalingga- jam enam sore naik Bus Sinar Jaya menuju Jakarta.

Kemacetan mulai terjadi selepas Ajibarang (Purwokerto) menuju Bumiayu (Brebes). Sampai di Bumiayu (Brebes) sekitar jam setengah sebelas. Dan pengalaman menarik yang belum pernah saya alami sebelumnya adalah, jam tujuh pagi esok harinya, saya masih di Bumiayu, tepatnya di depan Terminal Bumiayu.

Dalam hati saya mengatakan” “Kalau semalam seuntuk nonton pagelaran wayang kulit sih enak, ini semalam seuntuk di dalam bus yang penuh sesak,” Bagi saya itu adalah penderitaan dan sangat menyiksa. Betapa tidak, duduk di dalam bus yang penuh semalam seuntuk. Haus pengin minum, takut nanti kebelet pipis. Mau ngemil ini itu, takut nanti perut mules. Benar-benar menyiksa.

Alhamdulillah selepas jam tujuh pagi, kendaraan mulai bisa bergerak, padat merayap. Saat itu Tol Cipali belum selesai dibangun. Sopir mengambil jalur alternative. Dari Brebes menuju Cileduk (Cirebon) terus masuk Majalengka, Sumedang, Subang Sadang dan seterusnya. Meski itu jalur alternative namun jalanan tetap “padat semut rangrang.” Maksudnya padat tapi kendaraan bisa jalan lebih cepat dari pada jalannya rayap. Hehehe.

Sampai di Depok jam dua malam. Saya hitung perjalanan dari kampung saya ke Jakarta kurang lebih 32 jam. Waktu tempuh normal adalah 10 hingga 12 jam. Terbayang kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun