Mungkin tidak banyak yang tahu cara yang tepat menulis nama Petta Pallase-Lase'e. Sebagai seorang raja Bugis dari Kerajaan Tanete, namanya harus dipahami dalam konteks dialek Bugis. Nama ini bukan sekadar nama, melainkan lambang kekuasaan dan posisi seorang penguasa yang berani mengambil langkah besar di zamannya.
Petta Pallase-Lase'e bukanlah orang biasa. Ia adalah raja pertama Tanete yang memeluk Islam dan dengan gigih menyebarkan keyakinan tersebut kepada rakyatnya. Sejarah mencatat, ia mendesak raja-raja Bugis lainnya untuk mengikuti jejaknya. Mereka yang menolak, harus siap menghadapi "musu Asellengeng", atau yang dikenal sebagai Perang Islam. Tekanan yang ia lakukan tidak hanya mengubah keyakinan rakyat di Tanah Barru, tetapi juga mengubah lanskap politik dan budaya Bugis secara menyeluruh di Barru.
Aku mengenal lebih jauh tentang Petta Pallase-Lase'e saat menjalani tugas sebagai tim ahli cagar budaya di Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Barru. Empat kerajaan yang pernah berdaulat di tanah Barru kini menyatu menjadi Kabupaten Barru. Empat payung yang tertutup sebagai simbol persatuan kerajaan-kerajaan itu, kini berdiri di tengah kota Barru, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah panjang daerah ini.
Nama Petta Pallase-Lase'e mungkin terdengar unik dan sedikit menggelitik. Dalam bahasa Indonesia, namanya berarti "raja yang suka mengebiri orang lain." Arti ini bukan sekadar metafora. Ia benar-benar mempraktikkan kebiasaan kuno tersebut. Para pria yang dipilih menjadi penjaga istri-istrinya dikebiri untuk memastikan mereka tidak tergoda oleh para wanita cantik di istananya. Konon, ia memiliki 99 istri, jumlah yang luar biasa, bahkan jika dibandingkan dengan raja-raja besar di dunia.
Mendengar cerita ini, aku membayangkan betapa megahnya kehidupan sang raja. Dengan 99 istri yang setia, ia pasti hidup dalam kemewahan dan kekuasaan yang tak tertandingi. Namun, di balik kemewahan itu, tersimpan kenyataan yang lebih gelap: pria-pria yang dipilih sebagai penjaga istri-istrinya harus rela kehilangan maskulinitas demi kesetiaan kepada sang raja. Sebuah nasib tragis yang mereka jalani demi loyalitas.
Riwayat Petta Pallase-Lase'e tetap hidup hingga kini. Kuburannya berada di kompleks makam para raja Tanete, tempat setiap nisan menyimpan cerita tentang kekuasaan dan kebesaran masa lalu. Di antara nisan-nisan itu, bayangan sosoknya yang gagah---seorang raja yang tidak hanya mengubah keyakinan kerajaan, tetapi juga menebar ketakutan dengan kekuasaan absolutnya---masih menghantui imajinasi saya dan para peziarah yang datang.
Bagi saya, Petta Pallase-Lase'e adalah cerminan dari dualitas kekuasaan: di satu sisi, ia adalah pembawa perubahan yang berani, tetapi di sisi lain, ia adalah simbol kekejaman yang tersembunyi di balik kekuasaan mutlak. Sejarah memang penuh dengan pelajaran, dan dari sosoknya, kita dapat belajar tentang bagaimana kekuasaan dapat membentuk dan sekaligus menghancurkan.
---
Sepulang dari kunjungan bersama teman-teman lain dari Tim Cagar Budaya, aku beristirahat di balai-balai sambil menikmati semilir angin. Pikiranku masih terbawa ke sosok Raja Tanete ini. Tak heran, kompleks pemakaman raja-raja Tanete dinamai sesuai dengan namanya: Kompleks Pemakaman Petta Pallase-Lase'e! Tapi, kenapa nama ini yang kekal sebagai gelar? Bukankah konon raja hebat ini juga punya gelar lain, seperti "Petta To Sogi'e" (Raja yang kaya raya) atau "Petta Pasellengengi To Berue" (Raja yang mengislamkan rakyat Barru)?
Ada nilai yang tersembunyi dan tak terungkap. Aku selalu gemas dengan gelar Petta Pallase-Lase'e. Gemas sekaligus cemas memikirkan kebenaran dari cerita ini. Andai kisah ini hanya beredar dari mulut ke mulut tanpa catatan sejarah tertulis, mungkin aku tak akan mempercayainya.
Coba bayangkan, bagaimana mungkin seseorang, apalagi puluhan orang, yang dikebiri dengan cara tradisional tanpa bantuan dunia medis, bisa selamat? Satu atau dua mungkin ada keajaiban, tetapi 99 orang? Ini terasa tak masuk akal. Terus terang, aku mempertanyakan, bahkan menggugat kebiadaban ini. Kebiadaban menghilangkan maskulinitas bagi laki-laki. Itulah sebabnya siang tadi, saat mengunjungi makamnya di Kompleks Pemakaman Petta Pallase-Lase'e, aku menyempatkan diri berziarah ke kuburnya.
Awalnya, aku ragu memasuki makamnya. Makam Raja Petta Pallase-Lase'e berbentuk punden berundak, dengan denah persegi panjang. Bahan bangunannya terbuat dari batu padas yang disusun menjadi 14 undakan setinggi 320 cm. Di atasnya terdapat sebuah batu pualam menyerupai nisan. Namun, sebenarnya itu bukan nisan aslinya. Nisan asli Petta Pallase-Lase'e kecil saja, kira-kira sebesar batu cobekan, terletak di dalam undakan tersebut.
Ada sebuah gua kecil berukuran sekitar 2x1,5 meter di dalam undakan itu. Jarang orang masuk ke dalamnya, karena suasana seram dan butuh nyali besar untuk masuk. Selain itu, ada petunjuk khusus bagi penziarah yang ingin masuk---misalnya, harus keluar dengan berjalan mundur. Namun, aku mengabaikan semua petunjuk itu. Aku masuk ke dalam gua, duduk di samping nisan kecil itu, dan membacakan Al-Fatihah untuk Petta Pallase-Lase'e. Aku mendoakan beliau, seorang tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Kabupaten Barru. Bukan seorang yang dengan egois menghilangkan maskulinitas banyak orang. Setelah doa singkat itu, aku keluar dengan hati-hati, menjaga agar kepalaku tidak terbentur langit-langit gua.
Ketika aku keluar, penjaga makam menegurku. Ia bertanya kenapa aku tidak berjalan mundur sebagaimana seharusnya. Namun, mungkin karena aku bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Barangkali juga, ia berpikir tidak akan mendapat apa-apa dariku.
Sambil merebahkan diri di balai-balai, aku perlahan terpejam, merasakan angin yang bertiup lembut. Namun tiba-tiba, aku melihat sesuatu berwarna kuning seperti burung raksasa datang menghampiriku. Begitu ia mendekat, aku terkejut melihat sosoknya. Ia adalah seorang pria tampan, berkulit kuning, mengenakan songkok guru kuning dengan pita emas melingkar di sekelilingnya. Jas tutup dan sarungnya juga berwarna kuning, dihiasi pita emas. Sabuk emas melilit pinggangnya.
Astagfirullah! Siapakah dia, dan mengapa ia datang menemuiku? Apakah dia... Petta Pallase-Lase'e? Belum sempat kekagetan itu berlalu, tiba-tiba sosok kuning ini masuk ke dalam tubuhku. Aku berteriak kencang, dan istriku segera membangunkanku.
"Kamu kenapa? Mimpi buruk, ya? Sampai teriak-teriak begitu siang-siang?" tanyanya.
Aku terdiam, tak menjawab. Aku tak tahu apakah mimpiku buruk atau baik. Yang kutahu, aku merasa telah bertemu Petta Pallase-Lase'e, sosok yang selama ini terus mengusik pikiranku. Ketika nanti aku kembali menjalankan tugas sebagai Tim Ahli Cagar Budaya di Kompleks Pemakaman Petta Pallase-Lase'e, aku pasti akan menceritakan mimpi ini kepada masyarakat setempat. Dan entah bagaimana, aku yakin mereka akan percaya bahwa itu memang Petta Pallase-Lase'e.
Barru, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H