Awalnya, aku ragu memasuki makamnya. Makam Raja Petta Pallase-Lase'e berbentuk punden berundak, dengan denah persegi panjang. Bahan bangunannya terbuat dari batu padas yang disusun menjadi 14 undakan setinggi 320 cm. Di atasnya terdapat sebuah batu pualam menyerupai nisan. Namun, sebenarnya itu bukan nisan aslinya. Nisan asli Petta Pallase-Lase'e kecil saja, kira-kira sebesar batu cobekan, terletak di dalam undakan tersebut.
Ada sebuah gua kecil berukuran sekitar 2x1,5 meter di dalam undakan itu. Jarang orang masuk ke dalamnya, karena suasana seram dan butuh nyali besar untuk masuk. Selain itu, ada petunjuk khusus bagi penziarah yang ingin masuk---misalnya, harus keluar dengan berjalan mundur. Namun, aku mengabaikan semua petunjuk itu. Aku masuk ke dalam gua, duduk di samping nisan kecil itu, dan membacakan Al-Fatihah untuk Petta Pallase-Lase'e. Aku mendoakan beliau, seorang tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Kabupaten Barru. Bukan seorang yang dengan egois menghilangkan maskulinitas banyak orang. Setelah doa singkat itu, aku keluar dengan hati-hati, menjaga agar kepalaku tidak terbentur langit-langit gua.
Ketika aku keluar, penjaga makam menegurku. Ia bertanya kenapa aku tidak berjalan mundur sebagaimana seharusnya. Namun, mungkin karena aku bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Barangkali juga, ia berpikir tidak akan mendapat apa-apa dariku.
Sambil merebahkan diri di balai-balai, aku perlahan terpejam, merasakan angin yang bertiup lembut. Namun tiba-tiba, aku melihat sesuatu berwarna kuning seperti burung raksasa datang menghampiriku. Begitu ia mendekat, aku terkejut melihat sosoknya. Ia adalah seorang pria tampan, berkulit kuning, mengenakan songkok guru kuning dengan pita emas melingkar di sekelilingnya. Jas tutup dan sarungnya juga berwarna kuning, dihiasi pita emas. Sabuk emas melilit pinggangnya.
Astagfirullah! Siapakah dia, dan mengapa ia datang menemuiku? Apakah dia... Petta Pallase-Lase'e? Belum sempat kekagetan itu berlalu, tiba-tiba sosok kuning ini masuk ke dalam tubuhku. Aku berteriak kencang, dan istriku segera membangunkanku.
"Kamu kenapa? Mimpi buruk, ya? Sampai teriak-teriak begitu siang-siang?" tanyanya.
Aku terdiam, tak menjawab. Aku tak tahu apakah mimpiku buruk atau baik. Yang kutahu, aku merasa telah bertemu Petta Pallase-Lase'e, sosok yang selama ini terus mengusik pikiranku. Ketika nanti aku kembali menjalankan tugas sebagai Tim Ahli Cagar Budaya di Kompleks Pemakaman Petta Pallase-Lase'e, aku pasti akan menceritakan mimpi ini kepada masyarakat setempat. Dan entah bagaimana, aku yakin mereka akan percaya bahwa itu memang Petta Pallase-Lase'e.
Barru, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H